Anak Dengan Hambatan Majemuk


PENGEMBANGAN KONSEP
 ANAK DENGAN HAMBATAN MAJEMUK

1.  Pengertian Konsep
      Konsep ialah istilah yang bisa digunakan untuk menggambarkan secara abstrak dari suatu objek untuk tujuan mengklasifikasikan ataupun mengkategorikan suatu kelompok dari suatu benda serta gagasan ataupun peristiwa.
      Soedjadi konsep ialah ide abstrak yang bisa digunakan untuk mengadakan klasifikasi ataupun penggolongan umumnya dinyatakan dengan suatu istilah/rangkaian kata
      Konsep ialah satuan dari arti yang dapat mewakili sejumlah objek yang memiliki ciri yang sama.
Istilah konsep berasal dari bahasa latin dari kata “conceptus” yang berarti “tangkapan”. Tangkapan dalam konteks logika berkaitan dengan aktivitas intelektual untuk menangkap realitas. Aktivitas untuk menangkap realitas ini disebut aprehensi. Meskipun demikian sebuah aktivitas aprehensi tidak bersifat “an sich” tetapi “reflektif, kritis”. Dalam bahasa Inggris kata konsep berasal dari kata “concept” atau “construc” yang berarti simbol yang digunakan untuk memaknai sesuatu (Ihalaw, 2003 : 25). Dari berbagai pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan konsep adalah, aktivitas akal budi untuk memaknai realitas dengan menggunakan simbol tertentu.
Selain konsep, dikenal juga istilah term sebagai padanan dari konsep. Meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan, melainkan dapat dibedakan. Jika konsep lebih menjurus kepada aktivitas akal budi, maka term lebih berorientasi kepada “hasil” kegiatan akal budi yang dinyatakan dalam satu atau lebih kata. Dengan demikian, term dapat didefinisikan sebagai kata atau rangkaian kata yang membuat konsep menjadi nyata dan mengandung pengertian tertentu.

Definisi ini menunjukkan bahwa term sebuah konsep berbeda dari kata, sebab sebuah term dapat lebih dari satu kata. Jika sebuah term hanya terdiri dari satu kata atau satu istilah, maka term tersebut dinamakan term sederhana (simple term). Misalnya: Manusia, Gajah,  Cantik dan sejenisnya. Jika sebuah term terdiri dari beberapa kata, maka term tersebut dinamakan term kompleks (term komposit). Misalnya: Efek rumah kaca, Garuda Pacasila, Bapa segala orang percaya, generasi muda gereja, teologia trasformasi dan sejenisnya. Dari contoh-contoh ini, dapat dikatakan bahwa meskipun term komposit terdiri dari beberapa kata yang berdiri sendiri tetapi jika digabungkan hanya menunjukkan satu konsep atau satu pengertian.
Kata atau istilah yang digunakan untuk mengungkapkan sebuah pengertian disebut juga sebagai simbol konsep. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa term adalah simbol atau kesatuan beberapa simbol digunakan untuk membentuk suatu konsep.
Konotasi dan Denotasi Term
Konotasi adalah, keseluruhan isi yang dimaksudkan atau yang dikandung oleh sebuah term atau konsep. Yang dimaksud dengan keseluruhan arti adalah, kesatuan unsur-unsur dasar (substansi) dengan sifat pembeda yang secara bersama-sama membentuk suatu pengertian.
Misalnya:konotasi term “manusia” adalah: makluk berakal budi. Jika diuraikan maka term ini meliputi substansi yang berbadan, (unsur dasar) dan berakal budi (sifat pembeda).konotasi term “hukum” adalah: peraturan sebagai substansi (unsur dasar) dan yang bersifat memaksa (sifat pembeda). Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa, konotasi berkaitan dengan definisi atau pembatasan suatu konsep. Definisi yang berkaitan dengan konotasi sebuah term disebut sebagai definisi konotatif, atau definisi metafisik. (menyangkut hakikat definisi ini dibahas Pada bagian tersendiri).
Setiap term selain memiliki konotasi juga memiliki denotasi. Denotasi sebuah term adalah keseluruhan hal yang diliputi oleh sebuah term. Dengan kata lain denotasi sebuah term berhubungan dengan lingkungan (ekstensi) yang dapat ditunjukan sebuah term. Misalnya:Denotasi term “manusia” yang didefinisikan sebagai makluk berakal budi; dapat diterapkan pada bangsa, Indonesia, bangsa Cina, bangsa Yahudi dan sebagainya.Denotasi term “hukum” yang didefinisikan sebagai peraturan yang bersifat memaksa dapat diterapkan pada hukum pidana, hukum perdata, hukum laut internasional, hukum tata negara.
Jika dikaji secara mendalam maka antara konotasi dan denotasi sebuah konsep terdapat korelasi negatif, artinya jika yang satu bertambah, maka yang lainnya berkurang demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini terdapat empat kemungkinan:
Makin bertambah konotasi, makin berkurang denotasi
Makin berkurang konotasi, makin bertambah denotasi
Makin bertambah denotasi, makin berkurang konotasi
Makin berkurang denotasi, makin bertambah konotasi
Misalnya: term “manusia”. Dari term ini menunjukan bahwa denotasinya meliputi semua bangsa didunia. Tetapi jika term tersebut diubah menjadi “manusia Indonesia” maka denotasinya hanya meliputi masyarakat Indonesia.
Pembagian Konsep
Secara umum konsep dibagi ke dalam beberapa jenis yakni:  (1) konsep menurut konotasi; (2) konsep menurut denotasi; (3) konsep menurut cara menerangkan sesuatu (predikabel)
Konsep menurut konotasi
Menurut konotasinya, konsep dapat dibedakan atas dua jenis yaitu: konsep konkrit dan konsep abstrak. Konsep konkrit adalah konsep yang konotasinya langsung mengacu pada realitas obyektif. Misalnya: Wanita cantik. Konsep yang terkandung dalam term wanita cantik adalah konkrit, karena langsung menunjuk pada realitas sebagai subyek yang mempunyai diri.
Konsep abstrak adalah konsep konotasinya hanya menunjukkan sifat tertentu, tanpa menunjuk pada realitas obyektif. Misalnya: kecantikan, kenegaraan, kemakmuran.
Konsep menurut Denotasi
Menurut denotasinya, konsep dapat dibedakan atas dua jenis yaitu: konsep umum dan konsep khusus. Konsep umum adalah konsep yang denotasinya mencakup keseluruhan hal yang diliputinya. Konsep ini dibedakan atas dua macam yakni: Universal: konsep umum yang denotasinya tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Misalnya: Manusia, bangsa, Mahasiswa.
Kolektif: konsep umum yang denotasinya hanya berlaku bagi kelompok tertentu sebagai satu kesatuan. Misalnya: Rakyat Indonesia, Mahasiswa UKAW Kupang, jemaat Imanuel Mnela Lete.
Konsep khusus adalah, konsep yang hanya meliputi sebagian dari keseluruhan. Konsep ini dibedakan atas konsep partikular dan konsep singular.
Partikular: konsep khusus yang denotasinya hanya menunjuk pada sebagian tidak tertentu dari suatu keseluruhan. Misalnya: Sebagian manusia, sebagian Mahasiswa.
Singular: konsep khusus yang denotasinya menunjuk pada suatu hal atau suatu himpunan yang mempunyai hanya satu anggota. Misalnya: Presiden pertama RI, Dosen Hermeneutik Teologi UKAW.
Konsep menurut predikabel
Predikabel yang dimaksud adalah cara menerangkan sesuatu. Cara menerangkan ini berkaitan dengan pengungkapan relasi yang berbentuk predikat sebagai penjelasan dari suatu subyek dalam bentuk pernyataan.
Predikabel dari konsep terndiri dari lima jenis. Dua diantaranya menerangkan tentang hakikat jenis dan golongan sesuatu yakni: genus (jenis) dan spesies golongan); tiga diantaranya menerangkan tentang sifat yakni: diferensia (sifat pembeda), proprium (sifat khusus), dan aksidensia (sifat kebetulan).
1.      Genus adalah konsep membawahi spesies. Biasanya ekstensi genus meliputi semua jenis dan golongan konsep yang berada di bawahnya.
2.      Spesies adalah konsep yang lebih rendah dari genus. Bila ekstensi genus meliputi semua jenis dan golongan konsep yang berada di bawahnya, maka ekstensi spesies hanya mengacu pada hakikat “sesuatu ada” yang fana. Misalnya: manusia, hewan, tumbuhan.
3.      Diferensia adalah ciri pembeda sebuah konsep yang memebedakan satu spesies dengan spesies lainnya. Misalnya: Berakal adalah sifat pembeda manusia; panas sifat pembeda api; H20 sifat pembeda air. Dalam konteks logika, diferensia biasanya bertujuan untuk menuntaskan sebuah definisi yaitu menentukan tapal batas sebuah konsep. Bila ekstensi genus meliputi semua jenis dan golongan konsep yang berada di bawahnya, maka ekstensi spesies hanya mengacu pada hakikat “sesuatu ada” yang fana. Misalnya: manusia, hewan, tumbuhan.
Diferensia dapat dibedakan atas dua kategori yakni: diferensia generik dan diferensia spesifika. Diferensia generik adalah konsep yang menjadikan genus yang lebih tinggi menjadi lebih rendah. Misalnya: Organisma “berperasa”; Allah yang Imanuel.
Diferensia spesifika adalah konsep yang menjadikan genus terdekat menjadi spesies. Misalnya: hewan menyalak, hewan berkaki dua, hewan melata.
4.      Proprium sifat khusus yang merupakan lanjutan dari sifat pembeda sebuah konsep jika diabaikan dapat menimbulkan kerancuan. Misalnya: manusia sebagai makluk berakal budi, dapat belajar dapat berpolitik, bernyanyi. Proprium dapat dibedakan atas dua kategori yaitu: proprium generik dan proprium spesifik. Proprium generik adalah sifat khusus sebuah konsep yang berakar dalam genus. Misalnya: sifat “dapat mati” yang dihubungkan dengan manusia. Sifat khusus ini langsung berhubungan dengan pengertian manusia sebagi makluk hidup. Dengan demikian, orang dapat mati bukan karena ia berakal budi, berindra melainkan karena ia “organisme yang hidup”
Proprium spesifik adalah sifat khusus sebuah konsep yang berakar dalam spesies. Misalnya: semua manusia dapat tertawa, dapat membuat keputusan, dapat belajar, dapat merubah lingkungan.
5.      Aksidens adalah sifat kebetulan sebagai predikat yang tidak berkaitan dengan hakikat sesuatu sehingga tidak dimiliki oleh seluruh golongan. Misalnya: “berambut ikal” dan “berkulit putih” untuk manusia, Cantik untuk seorang gadis, berwarna merah untuk sepeda motor dan sebangsanya. Aksidens dapat dibedakan atas dua jenis yakni, aksidens predikamental dan akseidens predikabel. Akseidens predikamental adalah sifat kebetulan yang menyertai cara berada sesuatu dan melekat pada subyek. Misalnya: sifat terpelajar, pendidik, tinggi-besar untuk mansia. Panas, dingin untuk udara. Aksidens predikabel adalah sifat kebetulan yang menyertai cara menyatakan sesuatu namun tidak mutlak. Misalnya: berambut ikal untuk manusia, persegi untuk bangunan.[1]









2.  Tujuan Membangun Konsep
      Untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
      Meningkatkan kualitas hidupnya.
Tujuan membangun konsep sangatlah penting sebagaimana yang dijelaskan pada individu dengan ambatan majemuk dalam membangun konsep mendatang, diantaranya agar benar pemahamannya dengan guna dan fungsi suatu barang, pisau sebagai contoh digunakan untuk memmotong dan sisi tajamnya berbahaya.

3.  Klasifikasi Konsep
Monaco dalam Alsop (2002:45) membagi bahwa konsep melingkupi tiga hal. Hal tersebut antara lain :
      Konsep kongkrit,
      Semi kongkrit
      Abstrak.
Tiga tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pengertian Kata Konkret Dan Kata Abstrak
Kata "konkret" adalah sebuah kata, referensi yang lebih mudah diasimilasi oleh perasaan. Dan kata abstrak adalah kata yang rujukannya tidak diserap oleh inderanya.
Kata abstrak digunakan untuk mengungkapkan gagasan kompleks. Kata abstrak bisa secara halus membedakan ide yang bersifat teknis dan konkret. Namun, jika kata abstrak terjual terlalu banyak atau digunakan dalam esai, bisa jadi samar dan tidak akurat.

Contoh Kata Konkret dan Kata Abstrak
Contoh kata-kata Konkret: meja, rumah, mobil, air, beras, kelapa, dll.
Contoh kata abstrak: gagasan, pekerjaan, gagasan, keinginan, keinginan untuk kehendak, kehendak, kedamaian, demokrasi, kejujuran, dll.
Pengertian Kata Abstrak
Kata abstrak adalah kata yang memiliki link dalam bentuk konsep atau pengertian. Sesuai dengan namanya, kata abstrak membutuhkan pemahaman yang lebih besar, karena tidak nyata. Untuk lebih jelasnya, kami memberikan beberapa contoh kata abstrak di bawah ini:
Contoh Kata Abstrak:
  • Kaya
  • Buruk
  • Seni
  • Kerajinan
  • Demokrasi
  • Kemakmuran

2. Kata Konkret
Kata-kata tertentu bertentangan dengan kata-kata abstrak. Kata tertentu adalah sebuah kata yang memiliki kaitan dalam bentuk objek yang bisa diserap oleh kelima indera. Kata-kata konkret memiliki karakteristik yang bisa Anda rasakan, lihat, sentuh, dengar dan cium.
Berikut adalah contoh kata-kata spesifik:

Contoh Kata-kata Konkret:
  • Pakaian
  • Makanan
  • Rumah
  • Pelatihan
  • Bekerja
  • Bacaan
  • Negosiasi
  • uang
  • Mobil
  • Bidang padi
  • Rumah
Sebagai contoh dalam pembelajaran [2]
1)   Tahap konkret, pada tahap konkret siswa belajar untuk memahami bahan ajar dengan menggunakan benda-benda konkrit, atau benda-benda langsung, atau model jika benda itu terlalu besar untuk dibawa ke dalam kelas.
2)   Tahap semi konkret, pada tahap semi konkret anak belajar memahami bahan ajar dengan menggunakan gambar-gambar dua dimensi atau gambar tiga  dimensi.
3)   Tahap semi abstrak ,  pada tahap ini anak belajar dengan menggunakan tally
4)   Tahap abstrak, pada tahap ini anak memehamai bahan ajar yang diajarkan oleh guru dengan bantuan gambar-gambar.










4.  Proses Individu Membangun Konsep
     Proses pertama yang dilalui adalah proses sensori.
     Otak akan memproses semua informasi yang didapat dan mengumpulkannya sebanyak-banyaknya.
     Seluruh informasi tentang yang telah terkumpul kemudian dimaknai dengan bantuan pemahaman terdahulu tentang suatu hal yang terkait dengan objek yang pelajari(proses ini disebut persepsi).
     Informasi tentang objek yang dipelajari dengan pemahaman terdahulu kemudian disimpulkan menjadi sebuah makna.
     Makna tersebut kemudian disimpan dalam tempat penyimpanan di dalam otak.
     Kumpulan makna yang dibangun dari informasi tentang suatu objek yang dipelajari itulah yang kemudian disebut dengan konsep.
Sebagai perbandingan bagaimana individu membangun konsep diri:
Diri (self) adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang keadaan fisik dan psikis saja, namun juga tentang anak, pasangan, rumah, pekerjaan, nenek moyang, teman-teman, uang, dan lain-lain (William James dalam Hutagalung, 2007: 21). Lebih lanjut William menegaskan semua aspek tersebut dalam keadaan idealnya, yakni bagus, maka individu akan merasa bahagia dan senang. Berbeda keadaannya jika aspek yang tersebut di atas mendapatkan penilaian yang buruk, maka individu akan mendapatkan tekanan negatif dam kecewa dengan keadaan.
Menurut Mc Graw (Yudha dan Cristine, 2005: 33) konsep diri merupakan sekumpulan keyakinan, kenyataan, pendapat, dan persepsi mengenai diri individu itu sendiri disepanjang kehidupannya. Dari pendapat Mc Graw, dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan hasil belajar individu selama perjalanan hidupnya. Hasil belajar tersebut akan membentuk persepsi individu terhadap sesuatu.
Agus Hardjana (2003: 96) mendefinisikan konsep diri adalah buah dari bagaimana individu melihat diri sendiri, merasai diri sendiri, dan menginginkan diri sendiri. Dari definisi yang dikemukakan oleh Hardjana, konsep diri merupakan sebuah persepsi individu terhadap dirinya sendiri yang kemudian membentuk tujuan hidup individu.
Burns (Winanti dkk, 2006: 121) mendefinisikan konsep diri adalah pandangan keseluruhan yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri dan terdiri dari kepercayaan, evaluasi, dan kecenderungan berperilaku. Hampir sama dengan pendapat Mc Graw di atas, Burns menganggap konsep diri merupakan suatu persepsi individu terhadap dirinya sendiri. Namun sedikit berbeda dengan Mc Graw, Burn menambahkan bahwa persepsi individu terhadap diri akan mempengaruhi perilaku individu. Individu yang mempunyai konsep diri negatif, maka akan terlihat melalui perilakunya yang cenderung negatif pula.
Menurut Jalaludin Rakhmat (2009: 99), konsep diri adalah pandangan individu tentang diri individu. Dari definisi yang dikemukakan oleh Jalaludin Rakhmat, dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Namun begitu, penilaian yang terjadi akan membentuk persepsi yang kemudian mempengaruhi perilaku individu.
Dari pendapat para ahli di atas dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri merupakan cara pandang individu terhadap dirinya sendiriyang diperoleh dari hasil belajar selama hidup dan akan mempengaruhi perjalanan hidup individu ke depannya. Pengaruh konsep diri individu akan terlihat melalui perilaku individu dalam kehidupannya sehari-hari.
Sedikit berbeda dengan para ahli di atas, William H. Fitts (Hendriati Agustiani, 2006: 138) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Dalam teori Fitts, terdapat kata “interaksi” dan “lingkungan”. Berbeda dengan para ahli lainnya yang lebih menekankan bahwa konsep diri mempengaruhi diri individu sendiri, Fitts menyiratkan bahwa konsep diri tidak hanya memonopoli pengaruh terhadap diri individu saja, namun juga berpengaruh terhadap interaksi individu terhadap dan dalam lingkungan individu.
Gabriel Marcel (Hutagalung, 2007: 23) mengungkapkan kata kunci untuk memahami konsep diri manusia tidak dapat mengabaikan relasi antar manusia.
Merunut pendapat Fitts, konsep diri begitu penting dan mempengaruhi tingkah laku manusia dalam berinteraksi sosial. Sesuatu yang belum tentu benar dalam pandangan individu terhadap dirinya sendiri, dapat menjadi terlihat melalui perilakunya. Misalkan individu yang merasa tidak sanggup untuk tampil berpidato di depan orang banyak, padahal belum tentu ia tidak mampu, namun tingkah lakunya akan menunjukkan ketidak mampuannya tersebut akibat persepsi subjektif dari diri individu tersebut.
Proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh seseorang. Hariyadi menyiratkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial dipengaruhi oleh konsep diri manusia itu sendiri dalam kehidupan sosialnyadimasyarakat.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan konsep diri merupakan suatu pandangan manusia terhadap kepribadiannya secara menyeluruh yang diperoleh dari hasil belajar sepanjang hidup. Konsep diri yang terbentuk akan mempengaruhi perilaku individu dalam interaksi sosialnya.
Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Harry Stack Sullivan (Jalaludin Rakhmat, 2005: 101) mengemukakan bahwa individu diterima, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita cenderung tidak akan menyenangi diri kita. Ini menandakan bahwa individu memerlukan apresiasi dalam kehidupan sosialnya, jika tidak maka pengaruh negatif akan memperngaruhi perilaku individu. Beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah:

a. Orang lain
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Interaksi yang terjadi akan menghasilkan masukan baru bagi individu. Fitts (HendriantiAgustiani, 2006: 103) mengungkapkan pengalaman interpersonal akan menghasilkan perasaan positif dan berhaga. Berdasarkan pendapat Fitts di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa interaksi antar individu akan menghasilkan sebuah pengalaman yang mempengaruhi konsep diri individu. Namun begitu, Hutagalung (2007: 27) menspesifikasikan lagi bahwa tidak semua orang berpengaruh pada diri seseorang. Lebih lanjut Hutagalung menegaskan yang paling berpengaruh adalah orang-orang yang disebut significant others, yakni orang yang sangat penting bagi diri seseorang.
b. Kelompok
Sebagai makhluk sosial, manusia pasti memiliki kelompok dalam kehidupannya. Setiap kelompok yang diikuti oleh individu tentunya memiliki aturan masing-masing. Diantara kelompok yang diikuti oleh individu terdapat sebuah “kelompok acuan”. IngHutagalung (2007: 27) mengemukakan kelompok acuan, yaitu kelompok yang menjadi acuan bagi individu untuk berperilaku sesuai dengan norma dan nilai yang dianut kelompok tertentu.
Dari pendapat Inge Hutagalung di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri dipengaruhi oleh masukan dari luar diri individu, yakni orang lain dan kelompok. Masukan dari orang lain dan budaya di dalam kelompok dianggap sebagai faktor kuat yang mempengaruhi konsep diri individu.
c. Diri Sendiri
Selain dipengaruhi oleh orang lain dan kelompok, konsep diri juga dipengaruhi oleh diri individu sendiri. Kemampuan individu untuk merealisasikan apa yang ada di dalam dirinya juga mempengaruhi konsep diri individu.
Fitts (Hendrianti Agustiani, 2006:139) mengemukakan bahwa aktualisasi diri merupakan implementasi dan realisasi potensi pribadi yang sebenarnya Konsep diri adalah pandangan individu tentang diri individu (Jalaludin Rakhmat, 2009: 99). Dalam benak kita sebagai individu terdapat pengetahuan sebagai manusia. Baik pengetahuan mengenai fisik, psikologis, maupun sosial sebagai individu. Misalkan pengetahuan mengenai fisik yang menggambarkan individu, yakni usia, tinggi badan, warna kulit, dan bentuk rambut. Dari pengetahuan tentang dirinya sendiri, individu dapat memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri dan membandingkan dirinya dengan individu baik fisik, psikologis, dan sosial.
Harapan
Rogers (Calhoun dan Acocella, 1995: 71) mengemukakan saat individu mempunyai satu set pandangan tentang siapa dirinya, individu juga mempunyai satu set pandangan lain, yaitu tentang kemungkinan individu menjadi apa dimasa mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa manusia sebagai individu selain memiliki pengetahuan tentang dirinya juga memiliki harapan dan rencana ke depan terhadap dirinya kelak.
Harapan yang terbentuk pada individu kemudian menjadi konsep diri. Dengan adanya harapan pada individu, maka akan ada dorongan bagi individu untuk melakukan hal positif yang terbaik untuk mencapai tujuan hidupnya. Konsep diri adalah buah dari bagaimana individu melihat dirinya, merasai dirinya, dan menginginkan dirinya (Agus Hardjana, 2003: 96).
Penilaian
Setelah memiliki pengetahuan terhadap dirinya sendiri dan harapan terhadap dirinya sendiri, selanjutnya adalah penilaian individu terhadap dirinya. Individu akan menilai sejauh mana kesesuaian antara pengetahuan terhadap dirinya sendiri, harapan terhadap dirinya sendiri, dan realita kenyataan yang terjadi. Hasil dari pengukuran tersebut adalah harga diri. Orang yang hidup sesuai dengan standar dan harapan-harapan untuk dirinya adalah orang yang mempunyai harga diri yang tinggi (Calhoun dan Acocella, 1995: 71).
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Calhoun dan Acocella di atas dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri sangat dipengaruhi oleh diri individu sendiri. Peran individu dalam melakukan penilaian terhadap kesesuaian harapan dan realita akan menghasilkan harga diri individu. Harga diri tinggi adalah ketika individu merasa bahagia dengan keadaannya. Sebaliknya jika harapan diri rendah ketika kenyataan dan harapan terdapat kesenjangan yang jauh. Untuk itu individu harus bisa menata harapannya agar tidak terjadi kesenjangan antara harapan dan realita yang bisa berakibat harga diri yang rendah.
Berbeda dengan Calhoun dan Acocella yang membagi konsep diri dalam tiga dimensi, Fitts (Hendriati Agustiani, 2006: 139) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok konsep diri, yaitu;
a. Dimensi Internal
Dimensi internal adalah penilaian yang dilakukan individu,yakni penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri dunia di dalam dirinya. Dimensi internal konsep diri menurut Fitts (Hendriati Agustiani, 2006: 140) dibagi menjadi tiga, yaitu;
1) Diri identitas (identity self)
Bagian diri merupakan aspek yang paling mendasar pada konsepdiri dan mengacu pada pertanyaan “Siapakah saya?”. Individu dituntut untuk mengetahui sejauh mana dirinya mengetahui tentang dirinya.Semakin tumbuh dan berkembangnya individu sebagai manusia, maka jawaban terhadap pertanyaan “Siapakah saya?” akan semakin banyak dan semakin kompleks jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan tersebut.
2) Diri pelaku (behavioral self)
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri”. Diri yang kuat akan menunjukkan keserasian antara diri identitas dan perilaku. Diri yang baik akan mampu mengenali dan Manusia sebagai individu akan memberikan penilaian terhadap keserasian diri identitas dan diri perilakunya melalui diri penilai. Diri penilai akan memberikan penilai dan evaluasi sesuai standar kepuasan yang akhirnya akan menghasilkan harga diri (self esteem) bagi individu. Individu dengan tingkat kepuasan yang rendah akan menghasilkan harga diri yang rendah pula. Hal tersebut terjadi karena adanya kesenjangan antara diri identitas dan diri pelaku pada individu.
Misalkan Ani yang menganggap dirinya sebagai murid yang pintar, namun kenyataannya Ani menunjukkan perilaku malas belajar dan jarang masuk sekolah. Pada akhirnya Ani akan kecewa pada saat pembagian rapor karena nilainya jelek. Sebaliknya individu dengan harga diri yang tinggi akan memiliki diri identitas yang lebih realistis, dengan begitu diri perilaku dapat menutupi kesenjangan yang bisa terjadi.
Dari ketiga bentuk dimensi internal di atas, dapat diketahui bahwa setiap bentuk dimensi memiliki peran masing-masing dalam pembentukan konsep diri manusia. Namun begitu, dapat dipastikan bahwa setiap dimensi saling berkaitan satu sama lain dan tidak mungkin antar dimensi saling mengabaikan satu sama lain.
b. Dimensi Eksternal
Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta halhal lain di luar dirinya (Hendriati Agustiani, 2006: 141). Namun, dimensi yang diungkapkan oleh Fitts adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bag semua orang dan dibagi menjadi lima bentuk,yaitu;

1) Diri Fisik (physical self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik), dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek gemuk kurus).
2) Diri Etik-Moral (moral-ethical self)
Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.
3) Diri Pribadi (personal self)
Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaang pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat
4) Diri Keluarga (family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa adekuat sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga.
5) Diri Sosial (social self)
Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya. Seperti halnya dimensi konsep diri menurut Calhoun dan Acocella, dimensi konsep diri menurut Fitts juga memiliki keterkaitan satu sama lain. Bagian-bagian dimensi pokok, yakni dimensi internal dan eksternal saling berinteraksi satu sama lain sehingga akan tercipta lima belas kombinasi yang berasal dari tiga dimensi internal dan lima dimensi eksternal. Kombinasi tersebut adalah identitas fisik, identitas moral-etik, identitas pribadi, identitas keluarga, identitas sosial, tingkah laku fisik, tingkah laku moral-etik, tingkah laku pribadi, tingkah laku keluarga, tingkah laku sosial, penerimaan fisik, penerimaan moral-etik, penerimaan pribadi, penerimaan keluarga, dan penerimaan sosial.
Dari dua dimensi konsep diri yang diungkapkan ahli di atas, dimensi diri menurut Fitts dapat dianggap dimensi yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan dimensi diri menurt Calhoun dan Acocella . Hal tersebut dikarenakan dimensi konsep diri menurut Calhoun dan Acocella yang lebih fokus pada internal diri individu dan cenderung mengabaikan pengaruh dari luar diri individu, seperti keluarga dan sosial. Kata kunci untuk memahami konsep diri manusia tidak dapat mengabaikan relasi antarmanusia (Gabriel Marcel dalam Hutagalung, 2007: 23).
Proses Pembentukan Konsep Diri
Konsep diri bukanlah suatu pernyataan yang objektif dan faktual tentang diri sendiri tetapi lebih merupakan pandangan subjektif (Calhoun dan Acocella, 1995: 114). Hal tersebut terbentuk akibat adanya pengaruh internal dan eksternal individu. Seperti yang dikemukakan oleh Fitts (Hendriati Agustian, 2006: 139), individu mempunyai cara pandang terhadap dirinya, yakni dimensi internal dan eksternal.
Dimensi internal dan eksternal individu memiliki keterkaitan satu sama lain dalam pembentukan konsep diri individu. Dimensi eksternal mempengaruhi dimensi internal, begitu juga sebaliknya dimensi internal juga akan mempengaruhi dimensi eksternal. Analogi keterkaitan dimensi eksternal terhadap dimensi internal konsep diri yang menyatakan bahwa wanita tersebut tidak cantik dan tidak menarik. Selain itu banyak pria yang menjauhinya ketika di kantor.
Perilaku yang ditunjukkan oleh rekan individu tersebut membentuk konsep diri individu yang sebelumnya menganggap dirinya cantik, bisa berubah dan menganggap dirinya adalah orang yang buruk rupa dan tidak menarik. Dari penjabaran di atas dapat dilihat konsep diri individu dipengaruhi dan dapat berubah. Dalam hal ini dimensi internal diri identitas dipengaruhi oleh dimensi eksternal sosial.
Analogi keterkaitan dimensi internal terhadap dimensi eksternal terhadap pembentukan konsep diri individu dapat dijabarkan sebagai berikut, seorang individu wanita yang mendapatkan masukan dari orang lain jika ia tidak cantik dan tidak menarik. Namun wanita tersebut memiliki interpretasi yang baik terhadap masukan orang lain dan standar dirinya terhadap kecantikan masih terjangkau oleh dirinya sendiri. Untuk itu masukan yang ia dapat dari orang lain tidak begitu mempengaruhi konsep dirinya karena tidak terjadi kesenjangan antara penilaian yang orang lain berikan kepadanya dengan standar diri mengenai kecantikan yang sudah ia tetapkan. Calhoun dan Acocella (1995: 95) berpendapat bahwa konsep diri tidak hanya dipengaruhi oleh peristiwa eksternal, namun juga dipengaruhi oleh interpretasi individu terhadap peristiwa eksternal tersebut.
Jenis-Jenis Konsep Diri
Setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda, termasuk konsep dirinya. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh internal maupun eksternal individu. Menurut Burns (Hutagalung, 2007: 23) terdapat dua jenis konsep diri, yakni konsep diri positif dan negatif.
a. Konsep Diri Negatif
Menurut Calhoun dan Acocella (1995: 72) terdapat dua jenis konsep diri negatif, yakni:
1) Pandangan seseorang tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur: dia tidak memiliki kestabilan dan kebutuhan diri.
2) Konsep diri pada individu terlalu kaku, dalam artian terlalu teratur dan stabil. Individu terlalu diliputi kecemasan dan ketakutan terhadap dirinya sendiri William D. Brooks dan Philip Emmert (Jalaludin Rakhmat, 2007: 105) mengemukakan tanda individu dengan konsep diri negatif, yaitu;
1) Peka pada kritik. Individu tidak tahan dengan kritik dan menganggap kritik yang diberikan oleh orang lain bertujuan untuk menjatuhkan harga dirinya. Pendapat ini didukung oleh Burns(Hutagalung, 2007:23) yang mengemukakan bahwa bagi individu dengan konsep diri negatif memandang kritik sebagai pengabsahan lebih lanjut kepada inferiritas mereka.
2) Responsif pada pujian. Individu terkadang berpura-pura menutupi antusiasme dirinya terhadap pujian, walaupun sebenarnya ia tidak bisa menutupi antusiasmenya tersebut. Segala embel-embel pujian yang menunjang harga dirinya. Menurut Burns (Hutagalung, 2007: 23) bagi individu dengan konsep diri negatif, setiap pujian lebih baik daripada tidak sama sekali, dan untuk meningkatkan rasa aman maka individu akan berusaha keras untuk mendapatkan pujian tersebut.
3) Merasa tidak disenangi orang lain. Individu merasa tidak diperhatikan dan menganggap orang lain sebagai musuh, sehingga tidak bisa melahirkan kehangatan dan persahabatan. Perasaan tidak disenangi yang muncul pada individu tersebut terkadang hanya perasaan individu saja karena takut inferiotasnya terungkap pada orang lain (Burns dalam Hutagalung, 2007: 23)
4) Pesimis terhadap kompetisi. Individu tidak mau bersaing dengan orang lain dan menganggap dirinya tidak berdaya dalam persaingan. Dari tanda yang individu dengan konsep negatif di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa individu dengan konsep diri negatif bukanlah individu yang ideal dalam kehidupan sosial. Individu dengan konsep diri negatif cenderung egois, tidak bisa menerima dirinya, dan akhirnya menutup diri terhadap lingkungan sosial. Akibatnya individu yang sudah terisolir akibat menarik diri menjadi semakin terisolir dari kehidupan sosial karena kesalahpahaman yang terjadi antara individu dengan lingkungan sosial. Bagaimana pun konsep diri yang negatif akan sulit diterima oleh masyarakat.
b. Konsep Diri Positif
Wicklund dan Frey (Calhoun dan Acocella, 1995: 37) menyebutkan bahwa orang dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali. Kalimat tersebut sedikit menjawab pernyataan yang menyatakan bahwa orang yang konsep dirinya positif terkadang terlalu membanggakan dirinya. Namun konsep diri merupakan penerimaan diri, di mana kualitas lebih mengarahkan ke kedermawanan dari pada keangkuhan dan keegoisan (Calhoun dan Acocella, 1995: 73).
Bertolak belakang dengan konsep diri negatif, individu dengan konsep diri positif lebih bisa menerima kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya. Individu dengan konsep diri positif akan dapat terbuka menerima evaluasi atau pun kritik dari orang lain. Berbeda dengan individu negatif yang tertutup dan menolak masukan dari orang lain. Selain itu individu dengan konsep diri positif juga lebih realistis antara harapan dan kemampuannya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kesenjangan yang bisa berujung kekecewaan terhadap diri sendiri. Orang dengan konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri (Calhoun dan Acocella, 1995: 73).
Secara terperinci D.E Hamachek (Jalaludin Rakhmat, 2007: 106) mengemukakan sebelas ciri-ciri individu dengan konsep diri positif, yaitu;
1) Ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok-kelompok yang kuat. Tetapi, dia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan ia salah.
2) Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya bahwa orang lain tidak menyetujui tindakannya.
3) Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang.
4) Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan dan kemunduran.
5) Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu.
6) Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabat-sahabatnya.
7) Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa rasa bersalah.
8) Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
9) Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keingingan dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yangmendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.
10) Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu.
11) Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yangtelah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain.
Secara garis besar, Inge Hutagalung (2007: 25) mengemukakan pendapatnya mengenai tanda individu yang memiliki konsep positif, yaitu;
1) Orang yang “terbuka”.
2) Orang yang tidak mengalami hambatan untuk berbicara dengan orang lain, bahkan dalam situasi yang masih asing sekalipun.
3) Orang yang cepat tanggap terhadap situasi sekelilingnya.
Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat dibandingkan dan disimpulkan bahwa individu dengan konsep diri positif akan lebih mudah diterima di dalam lingkungan sosial masyarakat. Alasannya adalah individu dengan konsep diri yang lebih terbuka, rendah hati, dan peduli dengan sesama.
Inge Hutagalung (2007: 25) mengemukakan individu dengan konsep diri positif cenderung menyenangi dan menghargai diri mereka sendiri, sebagaimana sikap mereka terhadap orang lain. Individu dengan konsep diri positif sadar bahwa manusia satu dengan lainnya tidak bisa lepas satu sama lain. Individu dengan konsep diri positif akan terus belajar untk memahami dan meneri kondisi dirinya. Hal tersebut dilakukan oleh individu dengan konsep diri positif agar individu tidak kehilangan arah dan tujuan hidup. Konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan (William H. Fitts dalam Hendriati Agustiani, 2006: 138).[3]


5.            Individu dengan Hambatan Majemuk dalam Membangun Konsep
Individu dengan hambatan majemuk mempunyai kecepatan yang berbeda-beda dalam memngembangkan sebuah konsep. hal ini disebabkan kondisi hambatan yang dialaminya.
Ada cerita lama yang terkenal yang dapat menerangkan kita tentang tantangan menolong anak dengan hambatan majemuk dalam membangun konsep yang bermakna. Ceritanya seperti ini: Empat laki-laki tunanetra menyentuh seekor gajah. Seorang yang menyentuh belalai gajah berkata, Seekor gajah seperti sebuah pohon anggur besar yang bergoyang-goyang." Seorang yang menyentuh kuping gajah berkata, "Bukan, seekor gajah seperti kipas besar yang kasar." Seorang yang menyentuh badan gajah berkata, "Bukan! Seekor gajah seperti dinding bata yang tebal!" Dan seorang yang menyentuh ekor gajah berkata, "Bagaimana kalian semuanya bisa salah besar?! Seekor gajah itu seperti tali yang menggantung dan berayun!" Cerita ini mengajarkan kita bahwa konsep berkaitan dengan pengalamanpengalaman individual. Konsep adalah pemikiran-pemikiran yang memberi makna terhadap dunia kita. Kita membangun konsep berdasarkan pengalaman tertentu kita. Setiap laki-laki tunanetra di atas mengalami pengalaman yang sama sekali berbeda terhadap seekor gajah, dan oleh karenanya, setiap orang memiliki konsep yang berbeda-beda terhadap "seekor gajah". Tak ada satu pun konsep yang salah bila kita mengetahui bahwa konsep-konsep tersebut merupakan produk dari pengalaman individual. Setiap pemikiran tentang "gajah" merupakan hal yang masuk akal dari perspektif masingmasing di mana mereka menyentuh suatu bagian yang berbeda dari gajah tersebut.
 Pada anak-anak, konsep berkembang secara spiral, dengan anak sebagai pusatnya. Konsep diri yang positif dimulai dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan responsif. Dalam pelukan ibu, seorang bayi belajar bahwa ia dapat mempengaruhi orang lain. Ia belajar bahwa ia dapat menangis dan diberi makan atau dihibur, bahwa ia dapat bergiliran dengan orang lain. Secara bertahap, seiring pertumbuhan anak, pengalamannya semakin meluas. Ia belajar tentang tubuhnya sendiri dan tubuh ibunya. Ia belajar tentang keberadaan benda sama halnya seperti keberadaan manusia. Ia belajar tentang apa yang dapat diraih oleh tangannya, apa yang dapat dilihat oleh matanya, dan apa yang dapat didengarnya. Seorang anak belajar bahwa ia memiliki sebuah keluarga, rumah, lingkungan sekitar, dan kota. Ia belajar bahwa orang berkomunikasi dengan bahasa dan ia menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarakat pengguna bahasa.
Konsep-konsep dibangun dari konsep lain. Semakin banyak pemikiran dan memori yang dimiliki seorang anak tentang bagaimana cara kerja dunia dan suatu hubungan, semakin mudah untuk mengembangkan berbagai pemikiran yang lebih jauh. Sekali anak menyadari, misalnya, ketika ia bertepuk tangan, ayahnya juga ingin bertepuk tangan, ia mulai memahami konsep sebab akibat.
Sebuah pemahaman tentang satu jenis konsep sebab akibat akan semakin mempermudah anak untuk belajar memahami konsep sebab akibat lainnya. Setelah menguasai konsep pertama, seorang anak cenderung akan memahami konsep lainnya. Hal lain misalnya, ia dapat belajar, apabila ia meremas mainan tertentu maka mainan tersebut akan mengeluarkan bunyi. Bergiliran merupakan konsep tipe umum lainnya yang anak-anak pahami melalui pengalaman berulang yang khusus. Ketika seorang anak dapat bergiliran dengan anak lainnya dalam sebuah perrnainan, seperti menggelindingkan bola secara bolak-balik, ia mungkin akan menyadari kalau ia dapat bergilirandengan menggunakan perkataan.
Konsep-konsep dibangun dari konsep lain,sama seperti keterampilan-keterampilan dibangun dari keterampilan lain. Pengembangan konsep merupakan petualangan bersama, dimana Anda dan anak dengan hambatan majemuk dapat saling mempelajari dan menjelajahi dunia ini bersama-sama. Konsep adalah sesuatu yang dinamis dan selalu berkembang. Hal ini berlaku untuk semua orang, tanpa kecuali. Anda mungkin tidak pernah berpikir mengenai ekor gajah yangteksturnya seperti tali tambang, mengenaibagaimana turunnya hujan mirip dengan air mata, atau mengenai bagaimana hembusan angin terasa di wajah.Anak dengan hambatan majemuk dapat menunjukkan pada Anda konsep baru seperti ini dan cara baru untuk mengenai dunia. Anda dapat membantunya mengerti bahwa ia dapat menjadi anggota dalam dunia sosial yang menyenangkan. Anda dapat menunjukkan bahwa orang-orang lain menggunakan bahasa tubuh mereka atau bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Konsep berkembang melalui pengalaman bersama. Bersamasama,kita belajar lebih banyak mengenai satu sama lain dan mengenai dunia disekitar kita.[4]

6.       Bekerja Bersama Individu dengan Hamabatan Majemuk Dalam Mambangun Konsep
      Ada beberapa langkah untuk berkerja sama:
      Pra tindakan di identifikasi dan assasemen kemudian lakukakan analisis sebagai dasar/acuan mengembangkan pembelajaran, masalah tersebut setelah di ketahui kemuadian di susun rencana pembelajaran yang akan dilaksanakan pada tindakan.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan teknik pengamatan berperan serta, wawancara mendalam dan analisis dokumen.
a. Pengamatan berperan serta Pengamatan berperan serta pada dasarnya adalah mengadakan pengamatan dan mendengarkan secermat mungkin sampai pada yang sekecil-kecilnya (Moleong, 2005:23). Pengamatan berperan serta sebagai penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subjek penelitian dalam lingkungan subjek dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis. Pengamatan berperan serta dilakukan di kelas-kelas maupun di sekitar sekolah serta di rumah.
b. Wawancara mendalam Wawancara mendalam yaitu percakapan mendalam yang dilakukan peneliti terhadap para aktor yang sekaligus juga sebagai informan dalam penelitian ini. Maksud mengadakan wawancara adalah untuk mengkonstruksikan kejadian dan atau memverifikasikan kegiatan pembelajaran dan pendampingan anak MDVI selama ini.
c. Analisis dokumen Selain pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam, peneliti juga mengadakan analisis terhadap dokumen-dokumen yang relevan dengan kegiatan pembelajaran dan pendampingan anak-anak MDVI di sekolah maupun di rumah. Untuk kegiatan analisis data dilakukan dalam dua tahap, yaitu selama dan setelah pengumpulan data. Terhadap data yang diperoleh dilakukan analisis deskriptif kualitatif model alir (Miles dan Huberman, 2007:54).5
      Tindakan, pembelajaran
1.      Layanan pendidikan khusus
Siapa yang membutuhkan pendidikan khusus,di Indonesia kita lihat pada Undang Undang Sistem Pendidikanan Nasional (UU Sisdiknas) No 20 Tahun 2003. UU sisdikas No. 20 tahun 2003 Pasal 5, ayat 2 menyebutkan bahwa “ Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau social berhak memperoleh pendidikan khusus” Pada ayat 4 pasal yang sama (pasal 5) UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa“warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh Pendidikan Khusus. Secara legalitas Anak yang membutuhkan pendidikan khusus atau anak berkebutuhan pendidikan khusus (ABPK) terlihat jelas. Kita harus mengidentifikasi bagaimana pendidikan khususnya. Pendidikan khusus tidak harus ada di Sekolah khusus/Sekolah Luar Biasa (SLB). Pendidikan khusus bisa berlangsung di sekoh regular, sekolah Khusus/Sekolah Luar Biasa, bisa dirumah, bisa di rumah sakit atau tempat lainnya. Perbedaan pendidikan biasa dengan pendidikan khusus bisa dilihat dari Kelas atau tempat berlangsungnya proses pembelajaran, bisa dilihat dari program pembelajarannya dan bisa dilihat dari layanan pembelajarannya. Bila (kelas, program, layanan) salah satu atau dua dan /atau ketiganya dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak dengan kelainan atau ABPK maka itu adalah pendidikan khusus.
Dalam memenuhi kebutuhan pendidikan khusus bagi ABPK maka ada tiga kelompok ABPK :
ABPK dalam Kelas khusus Tidak semua ABPK membutuhkan kelas khusus, tidak semua ABPK membutuhkan program khusus. Bila ABPK membutuhkan Kelas khusus pasti didalamnya ia butuh program khusus dan pasti didalamnya pula ia membutuhkan layanana khusus dan juga memerlukan guru khusus untuk melaksanakan rancangan pembelajarannya. Tetapi tidak harus kelas khusus ini berada di sekolah khusus/SLB. Kelas khusus ini bisa berada dilingkungan sekolah biasa atau sekolah reguler, baik tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah. Pertama dan Atas dan guru khusus sebagai pelaksana pembelajarannya.
ABPK dalam Program khusus Ada pula ABPK Yang hanya membutuhkan program khusus yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya. Bila ia hanya membutuhkan program khusus, ia (ABPK) pasti butuh layanan khusus dan tempat pembelajarannya (kelasnya) di kelas biasa bersama dengan anak lain yang tidak memiliki problem atau kelainan. Dalam situasi yang demikian kendali pembelajarannya tidak harus dilaksanakan oleh guru khusus. Kendali pembelajaran ada di tangan guru kelas regular. Guru khusus hanya berfungsi sebagai guru pembimbing dan guru konsultan bagi guru reguler. Rancangan rencana program khususnya dan rancangan rencana layanan khususnya tetap dating dari guru khusus atau paduan dari rancangan guru khusus dan guru biasa/regular.
ABPK dalam Layanan Khusus Ada ABPK yang kelasnya bersama teman sekelasnya di kelas regular, programnya juga sama dengan teman sekelasnya di kelas regular. Tetapi ia hanya membuthkan layanan khusus. Layanan khusus yang dibutuhkan hanya mengarah kepada dimana posisi penempatan anak di kelas, bagaimana media dan alat yang dibutuhkan guru dan anak dengan kelainan majemuk dalam pembelajaran. Alat dan media yang sesuai dengan yang dibutuhkan membuat anak aksesibel dalam mengikuti setiap pembelajaran. Ini tentu disesuaikan dengan karakteristik serta problem amasalah yang dimiliki setiap individu yang berkelainan (ABPK).
 Untuk keperluan Pendidikan, ABPK dapat dibagi kedalam 2 (dua) kelompok yaitu:
1.      Masalah (problem) dalam Sensorimotor Anak yang mengalami kelainan dan memiliki efek terhadap kemampuan melihat, mendengar dan kemampuan bergeraknya. Problem ini kita sebut Sensorimotor Problem. Kelainan sensorimotor biasanya secara umum lebih mudah diidentifikasi, ini tidak berarti selalu lebih mudah dalam menemukan kebutuhannya dalam pendidikan. Kelainan sensorimotor tidak harus berakibat masalah pada kemampuan inteleknya. Sebagian besar anak yang mengalami masalah dalam sensorimotor dapat belajar dan bersekolah dengan baik seperti anak yang tidak mengalami kelainan.
 Ada tiga (3) jenis kelainan yang termasuk problem dalam sensorimotor yaitu ;
a. Hearing disorders (Kelainan pendengaran atau tunarungu)
 b. Visual Impairment.(kelainan Penglihatan atau tunanetra)
 c. Physical Disability (kelainan Fisik atau tunadaksa) Setiap jenis kelainan tersebut akan melibatkan berbagai keahlian di samping guru khusus yang memiliki keterampilan dan keahlian khusus sesuai kebutuhan setiap jenis kelainan. Kerjasama sebagai tim dari setiap ahli sangat penting untuk keberhasilan pembelajaran ALB.
2. Masalah (problem) dalam belajar dan tingkah laku. Kelompok Anak Luar Biasa yang mengalami problem dalam belajar adalah:
a. Mental retardation ( keterbelakangan mental atau tunagrahita)
b. Learning disability (ketidakmampuan belajar atau Kesulitan belajar khusus)
c. Behavior disorders (anak nakal atau tunalaras) d. Giftet dan talented (anak berbakat)
e. Autistik (anak autis)
Dari pengelompokan masalah diatas, anak dengan kelainan majemuk bisa masuk kedalam anak yang memiliki problim dalam sensori motor dan bisa juga masuk kedalam anak yang bermasalah dalam belajar dan tingkah laku. Hal ini tergantung dari jenis kelainan yang disandangnya.6



[1] http://aeritam.blogspot.co.id/2011/06/konsep-dan-definisi.html
[2] http://oshomdijah.blogspot.co.id/2012/06/media-pembelajaran-ipa-knowing-is-not.html
[3] Akbar Waskita Ifdhil Haq, bab 2 h. 13
[4] Juang sunanto, jurnal UPI volome 12 nomor 1 tahun 2013
5 Jurnal FIP September 2015                                                             
6 Anak dengan kelainan majemuk, Irham Hosn PLB FIP UPI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Anak CIBI

INKLUSI SEBAGAI PEMBERI PERHATIAN ANTI DISKRIMINASI