Anak Dengan Hambatan Majemuk
PENGEMBANGAN KONSEP
ANAK DENGAN HAMBATAN MAJEMUK
1. Pengertian Konsep
• Konsep ialah istilah yang bisa digunakan untuk menggambarkan secara
abstrak dari suatu objek untuk tujuan mengklasifikasikan ataupun
mengkategorikan suatu kelompok dari suatu benda serta gagasan ataupun
peristiwa.
• Soedjadi konsep ialah ide abstrak yang bisa digunakan untuk
mengadakan klasifikasi ataupun penggolongan umumnya dinyatakan dengan suatu
istilah/rangkaian kata
• Konsep ialah satuan dari arti yang dapat mewakili sejumlah objek
yang memiliki ciri yang sama.
Istilah konsep berasal dari bahasa latin dari kata “conceptus” yang
berarti “tangkapan”. Tangkapan dalam konteks logika berkaitan dengan aktivitas
intelektual untuk menangkap realitas. Aktivitas untuk menangkap realitas ini
disebut aprehensi. Meskipun demikian sebuah aktivitas aprehensi tidak bersifat
“an sich” tetapi “reflektif, kritis”. Dalam bahasa Inggris kata konsep berasal
dari kata “concept” atau “construc” yang berarti simbol yang digunakan untuk
memaknai sesuatu (Ihalaw, 2003 : 25). Dari berbagai pengertian tersebut, dapat
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan konsep adalah, aktivitas akal budi untuk
memaknai realitas dengan menggunakan simbol tertentu.
Selain konsep, dikenal juga istilah term sebagai padanan dari
konsep. Meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan, melainkan dapat dibedakan.
Jika konsep lebih menjurus kepada aktivitas akal budi, maka term lebih
berorientasi kepada “hasil” kegiatan akal budi yang dinyatakan dalam satu atau
lebih kata. Dengan demikian, term dapat didefinisikan sebagai kata atau
rangkaian kata yang membuat konsep menjadi nyata dan mengandung pengertian
tertentu.
Definisi ini menunjukkan bahwa term sebuah konsep berbeda dari
kata, sebab sebuah term dapat lebih dari satu kata. Jika sebuah term hanya
terdiri dari satu kata atau satu istilah, maka term tersebut dinamakan term
sederhana (simple term). Misalnya: Manusia, Gajah, Cantik dan sejenisnya. Jika sebuah term
terdiri dari beberapa kata, maka term tersebut dinamakan term kompleks (term
komposit). Misalnya: Efek rumah kaca, Garuda Pacasila, Bapa segala orang
percaya, generasi muda gereja, teologia trasformasi dan sejenisnya. Dari contoh-contoh
ini, dapat dikatakan bahwa meskipun term komposit terdiri dari beberapa kata
yang berdiri sendiri tetapi jika digabungkan hanya menunjukkan satu konsep atau
satu pengertian.
Kata atau istilah yang digunakan untuk mengungkapkan sebuah
pengertian disebut juga sebagai simbol konsep. Dengan demikian, dapat dikatakan
pula bahwa term adalah simbol atau kesatuan beberapa simbol digunakan untuk
membentuk suatu konsep.
Konotasi dan Denotasi Term
Konotasi adalah, keseluruhan isi yang dimaksudkan atau yang
dikandung oleh sebuah term atau konsep. Yang dimaksud dengan keseluruhan arti
adalah, kesatuan unsur-unsur dasar (substansi) dengan sifat pembeda yang secara
bersama-sama membentuk suatu pengertian.
Misalnya:konotasi term “manusia” adalah: makluk berakal budi. Jika
diuraikan maka term ini meliputi substansi yang berbadan, (unsur dasar) dan
berakal budi (sifat pembeda).konotasi term “hukum” adalah: peraturan sebagai
substansi (unsur dasar) dan yang bersifat memaksa (sifat pembeda). Dari contoh
tersebut dapat dikatakan bahwa, konotasi berkaitan dengan definisi atau
pembatasan suatu konsep. Definisi yang berkaitan dengan konotasi sebuah term
disebut sebagai definisi konotatif, atau definisi metafisik. (menyangkut
hakikat definisi ini dibahas Pada bagian tersendiri).
Setiap term selain memiliki konotasi juga memiliki denotasi.
Denotasi sebuah term adalah keseluruhan hal yang diliputi oleh sebuah term.
Dengan kata lain denotasi sebuah term berhubungan dengan lingkungan (ekstensi)
yang dapat ditunjukan sebuah term. Misalnya:Denotasi term “manusia” yang
didefinisikan sebagai makluk berakal budi; dapat diterapkan pada bangsa,
Indonesia, bangsa Cina, bangsa Yahudi dan sebagainya.Denotasi term “hukum” yang
didefinisikan sebagai peraturan yang bersifat memaksa dapat diterapkan pada
hukum pidana, hukum perdata, hukum laut internasional, hukum tata negara.
Jika dikaji secara mendalam maka antara konotasi dan denotasi
sebuah konsep terdapat korelasi negatif, artinya jika yang satu bertambah, maka
yang lainnya berkurang demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini terdapat empat
kemungkinan:
Makin bertambah konotasi, makin berkurang denotasi
Makin berkurang konotasi, makin bertambah denotasi
Makin bertambah denotasi, makin berkurang konotasi
Makin berkurang denotasi, makin bertambah konotasi
Misalnya: term “manusia”. Dari term ini menunjukan bahwa
denotasinya meliputi semua bangsa didunia. Tetapi jika term tersebut diubah
menjadi “manusia Indonesia” maka denotasinya hanya meliputi masyarakat
Indonesia.
Pembagian Konsep
Secara umum konsep dibagi ke dalam beberapa jenis yakni: (1) konsep menurut konotasi; (2) konsep
menurut denotasi; (3) konsep menurut cara menerangkan sesuatu (predikabel)
Konsep menurut konotasi
Menurut konotasinya, konsep dapat dibedakan atas dua jenis yaitu:
konsep konkrit dan konsep abstrak. Konsep konkrit adalah konsep yang
konotasinya langsung mengacu pada realitas obyektif. Misalnya: Wanita cantik.
Konsep yang terkandung dalam term wanita cantik adalah konkrit, karena langsung
menunjuk pada realitas sebagai subyek yang mempunyai diri.
Konsep abstrak adalah konsep konotasinya hanya menunjukkan sifat
tertentu, tanpa menunjuk pada realitas obyektif. Misalnya: kecantikan,
kenegaraan, kemakmuran.
Konsep menurut Denotasi
Menurut denotasinya, konsep dapat dibedakan atas dua jenis yaitu:
konsep umum dan konsep khusus. Konsep umum adalah konsep yang denotasinya
mencakup keseluruhan hal yang diliputinya. Konsep ini dibedakan atas dua macam
yakni: Universal: konsep umum yang denotasinya tidak terbatas oleh ruang
dan waktu. Misalnya: Manusia, bangsa, Mahasiswa.
Kolektif: konsep umum yang denotasinya hanya berlaku bagi kelompok
tertentu sebagai satu kesatuan. Misalnya: Rakyat Indonesia, Mahasiswa UKAW
Kupang, jemaat Imanuel Mnela Lete.
Konsep khusus adalah, konsep yang hanya meliputi sebagian dari
keseluruhan. Konsep ini dibedakan atas konsep partikular dan konsep singular.
Partikular: konsep khusus yang denotasinya hanya menunjuk pada
sebagian tidak tertentu dari suatu keseluruhan. Misalnya: Sebagian manusia,
sebagian Mahasiswa.
Singular: konsep khusus yang denotasinya menunjuk pada suatu hal
atau suatu himpunan yang mempunyai hanya satu anggota. Misalnya: Presiden
pertama RI, Dosen Hermeneutik Teologi UKAW.
Konsep menurut predikabel
Predikabel yang dimaksud adalah cara menerangkan sesuatu. Cara
menerangkan ini berkaitan dengan pengungkapan relasi yang berbentuk predikat
sebagai penjelasan dari suatu subyek dalam bentuk pernyataan.
Predikabel dari konsep terndiri dari lima jenis. Dua diantaranya
menerangkan tentang hakikat jenis dan golongan sesuatu yakni: genus (jenis) dan
spesies golongan); tiga diantaranya menerangkan tentang sifat yakni: diferensia
(sifat pembeda), proprium (sifat khusus), dan aksidensia (sifat kebetulan).
1.
Genus adalah konsep membawahi spesies. Biasanya
ekstensi genus meliputi semua jenis dan golongan konsep yang berada di
bawahnya.
2.
Spesies adalah konsep yang lebih rendah dari
genus. Bila ekstensi genus meliputi semua jenis dan golongan konsep yang berada
di bawahnya, maka ekstensi spesies hanya mengacu pada hakikat “sesuatu ada”
yang fana. Misalnya: manusia, hewan, tumbuhan.
3.
Diferensia adalah ciri pembeda sebuah konsep
yang memebedakan satu spesies dengan spesies lainnya. Misalnya: Berakal adalah
sifat pembeda manusia; panas sifat pembeda api; H20 sifat pembeda air. Dalam
konteks logika, diferensia biasanya bertujuan untuk menuntaskan sebuah definisi
yaitu menentukan tapal batas sebuah konsep. Bila ekstensi genus meliputi semua
jenis dan golongan konsep yang berada di bawahnya, maka ekstensi spesies hanya
mengacu pada hakikat “sesuatu ada” yang fana. Misalnya: manusia, hewan,
tumbuhan.
Diferensia
dapat dibedakan atas dua kategori yakni: diferensia generik dan diferensia
spesifika. Diferensia generik adalah konsep yang menjadikan genus yang lebih
tinggi menjadi lebih rendah. Misalnya: Organisma “berperasa”; Allah yang
Imanuel.
Diferensia
spesifika adalah konsep yang menjadikan genus terdekat menjadi spesies.
Misalnya: hewan menyalak, hewan berkaki dua, hewan melata.
4.
Proprium sifat khusus yang merupakan lanjutan
dari sifat pembeda sebuah konsep jika diabaikan dapat menimbulkan kerancuan.
Misalnya: manusia sebagai makluk berakal budi, dapat belajar dapat berpolitik,
bernyanyi. Proprium dapat dibedakan atas dua kategori yaitu: proprium generik
dan proprium spesifik. Proprium generik adalah sifat khusus sebuah konsep yang
berakar dalam genus. Misalnya: sifat “dapat mati” yang dihubungkan dengan
manusia. Sifat khusus ini langsung berhubungan dengan pengertian manusia sebagi
makluk hidup. Dengan demikian, orang dapat mati bukan karena ia berakal budi,
berindra melainkan karena ia “organisme yang hidup”
Proprium
spesifik adalah sifat khusus sebuah konsep yang berakar dalam spesies.
Misalnya: semua manusia dapat tertawa, dapat membuat keputusan, dapat belajar,
dapat merubah lingkungan.
5.
Aksidens adalah sifat kebetulan sebagai
predikat yang tidak berkaitan dengan hakikat sesuatu sehingga tidak dimiliki
oleh seluruh golongan. Misalnya: “berambut ikal” dan “berkulit putih” untuk
manusia, Cantik untuk seorang gadis, berwarna merah untuk sepeda motor dan
sebangsanya. Aksidens dapat dibedakan atas dua jenis yakni, aksidens predikamental
dan akseidens predikabel. Akseidens predikamental adalah sifat kebetulan yang
menyertai cara berada sesuatu dan melekat pada subyek. Misalnya: sifat
terpelajar, pendidik, tinggi-besar untuk mansia. Panas, dingin untuk udara.
Aksidens predikabel adalah sifat kebetulan yang menyertai cara menyatakan
sesuatu namun tidak mutlak. Misalnya: berambut ikal untuk manusia, persegi
untuk bangunan.[1]
2. Tujuan
Membangun Konsep
• Untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
• Meningkatkan kualitas hidupnya.
Tujuan membangun konsep sangatlah penting sebagaimana yang
dijelaskan pada individu dengan ambatan majemuk dalam membangun konsep
mendatang, diantaranya agar benar pemahamannya dengan guna dan fungsi suatu
barang, pisau sebagai contoh digunakan untuk memmotong dan sisi tajamnya
berbahaya.
3. Klasifikasi
Konsep
Monaco
dalam Alsop (2002:45) membagi bahwa konsep melingkupi tiga hal. Hal tersebut
antara lain :
•
Konsep kongkrit,
•
Semi kongkrit
•
Abstrak.
Tiga tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Pengertian Kata Konkret Dan Kata Abstrak
Kata "konkret" adalah sebuah kata,
referensi yang lebih mudah diasimilasi oleh perasaan. Dan kata abstrak adalah
kata yang rujukannya tidak diserap oleh inderanya.
Kata abstrak digunakan untuk mengungkapkan
gagasan kompleks. Kata abstrak bisa secara halus membedakan ide yang bersifat
teknis dan konkret. Namun, jika kata abstrak terjual terlalu banyak atau
digunakan dalam esai, bisa jadi samar dan tidak akurat.
Contoh Kata Konkret dan Kata Abstrak
Contoh Kata Konkret dan Kata Abstrak
Contoh kata-kata Konkret: meja, rumah, mobil,
air, beras, kelapa, dll.
Contoh kata abstrak: gagasan, pekerjaan, gagasan, keinginan, keinginan untuk kehendak, kehendak, kedamaian, demokrasi, kejujuran, dll.
Pengertian Kata Abstrak
Kata abstrak adalah kata yang memiliki link dalam bentuk konsep atau pengertian. Sesuai dengan namanya, kata abstrak membutuhkan pemahaman yang lebih besar, karena tidak nyata. Untuk lebih jelasnya, kami memberikan beberapa contoh kata abstrak di bawah ini:
Contoh Kata Abstrak:
Contoh kata abstrak: gagasan, pekerjaan, gagasan, keinginan, keinginan untuk kehendak, kehendak, kedamaian, demokrasi, kejujuran, dll.
Pengertian Kata Abstrak
Kata abstrak adalah kata yang memiliki link dalam bentuk konsep atau pengertian. Sesuai dengan namanya, kata abstrak membutuhkan pemahaman yang lebih besar, karena tidak nyata. Untuk lebih jelasnya, kami memberikan beberapa contoh kata abstrak di bawah ini:
Contoh Kata Abstrak:
- Kaya
- Buruk
- Seni
- Kerajinan
- Demokrasi
- Kemakmuran
2. Kata Konkret
Kata-kata tertentu bertentangan dengan kata-kata abstrak. Kata tertentu adalah sebuah kata yang memiliki kaitan dalam bentuk objek yang bisa diserap oleh kelima indera. Kata-kata konkret memiliki karakteristik yang bisa Anda rasakan, lihat, sentuh, dengar dan cium.
Berikut adalah contoh kata-kata spesifik:
Contoh Kata-kata Konkret:
- Pakaian
- Makanan
- Rumah
- Pelatihan
- Bekerja
- Bacaan
- Negosiasi
- uang
- Mobil
- Bidang padi
- Rumah
1) Tahap konkret, pada tahap konkret siswa
belajar untuk memahami bahan ajar dengan menggunakan benda-benda konkrit, atau
benda-benda langsung, atau model jika benda itu terlalu besar untuk dibawa ke
dalam kelas.
2) Tahap semi konkret, pada tahap semi konkret
anak belajar memahami bahan ajar dengan menggunakan gambar-gambar dua dimensi
atau gambar tiga dimensi.
3) Tahap semi abstrak , pada tahap ini anak belajar dengan
menggunakan tally
4) Tahap abstrak, pada tahap ini anak memehamai
bahan ajar yang diajarkan oleh guru dengan bantuan gambar-gambar.
4. Proses
Individu Membangun Konsep
• Proses pertama yang dilalui adalah proses sensori.
• Otak akan memproses semua informasi yang didapat dan
mengumpulkannya sebanyak-banyaknya.
• Seluruh informasi tentang yang telah terkumpul kemudian dimaknai
dengan bantuan pemahaman terdahulu tentang suatu hal yang terkait dengan objek
yang pelajari(proses ini disebut persepsi).
• Informasi tentang objek yang dipelajari dengan pemahaman terdahulu
kemudian disimpulkan menjadi sebuah makna.
• Makna tersebut kemudian disimpan dalam tempat penyimpanan di dalam
otak.
• Kumpulan makna yang dibangun dari informasi tentang suatu objek
yang dipelajari itulah yang kemudian disebut dengan konsep.
Sebagai
perbandingan bagaimana individu membangun konsep diri:
Diri (self)
adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan
hanya tentang keadaan fisik dan psikis saja, namun juga tentang anak, pasangan,
rumah, pekerjaan, nenek moyang, teman-teman, uang, dan lain-lain (William James
dalam Hutagalung, 2007: 21). Lebih lanjut William menegaskan semua aspek
tersebut dalam keadaan idealnya, yakni bagus, maka individu akan merasa bahagia
dan senang. Berbeda keadaannya jika aspek yang tersebut di atas mendapatkan
penilaian yang buruk, maka individu akan mendapatkan tekanan negatif dam kecewa
dengan keadaan.
Menurut Mc Graw
(Yudha dan Cristine, 2005: 33) konsep diri merupakan sekumpulan keyakinan, kenyataan,
pendapat, dan persepsi mengenai diri individu itu sendiri disepanjang
kehidupannya. Dari pendapat Mc Graw, dapat disimpulkan bahwa konsep diri
merupakan hasil belajar individu selama perjalanan hidupnya. Hasil belajar tersebut
akan membentuk persepsi individu terhadap sesuatu.
Agus Hardjana
(2003: 96) mendefinisikan konsep diri adalah buah dari bagaimana individu
melihat diri sendiri, merasai diri sendiri, dan menginginkan diri sendiri. Dari
definisi yang dikemukakan oleh Hardjana, konsep diri merupakan sebuah persepsi
individu terhadap dirinya sendiri yang kemudian membentuk tujuan hidup
individu.
Burns (Winanti
dkk, 2006: 121) mendefinisikan konsep diri adalah pandangan keseluruhan yang
dimiliki individu tentang dirinya sendiri dan terdiri dari kepercayaan,
evaluasi, dan kecenderungan berperilaku. Hampir sama dengan pendapat Mc Graw di
atas, Burns menganggap konsep diri merupakan suatu persepsi individu terhadap
dirinya sendiri. Namun sedikit berbeda dengan Mc Graw, Burn menambahkan bahwa
persepsi individu terhadap diri akan mempengaruhi perilaku individu. Individu
yang mempunyai konsep diri negatif, maka akan terlihat melalui perilakunya yang
cenderung negatif pula.
Menurut
Jalaludin Rakhmat (2009: 99), konsep diri adalah pandangan individu tentang diri
individu. Dari definisi yang dikemukakan oleh Jalaludin Rakhmat, dapat diambil
kesimpulan bahwa konsep diri merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri.
Namun begitu, penilaian yang terjadi akan membentuk persepsi yang kemudian mempengaruhi
perilaku individu.
Dari pendapat
para ahli di atas dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri merupakan cara
pandang individu terhadap dirinya sendiriyang diperoleh dari hasil belajar
selama hidup dan akan mempengaruhi perjalanan hidup individu ke depannya.
Pengaruh konsep diri individu akan terlihat melalui perilaku individu dalam
kehidupannya sehari-hari.
Sedikit berbeda
dengan para ahli di atas, William H. Fitts (Hendriati Agustiani, 2006: 138) mengemukakan
bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep
diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi
dengan lingkungan. Dalam teori Fitts, terdapat kata “interaksi” dan
“lingkungan”. Berbeda dengan para ahli lainnya yang lebih menekankan bahwa
konsep diri mempengaruhi diri individu sendiri, Fitts menyiratkan bahwa konsep
diri tidak hanya memonopoli pengaruh terhadap diri individu saja, namun juga
berpengaruh terhadap interaksi individu terhadap dan dalam lingkungan individu.
Gabriel Marcel
(Hutagalung, 2007: 23) mengungkapkan kata kunci untuk memahami konsep diri
manusia tidak dapat mengabaikan relasi antar manusia.
Merunut
pendapat Fitts, konsep diri begitu penting dan mempengaruhi tingkah laku
manusia dalam berinteraksi sosial. Sesuatu yang belum tentu benar dalam
pandangan individu terhadap dirinya sendiri, dapat menjadi terlihat melalui
perilakunya. Misalkan individu yang merasa tidak sanggup untuk tampil berpidato
di depan orang banyak, padahal belum tentu ia tidak mampu, namun tingkah lakunya
akan menunjukkan ketidak mampuannya tersebut akibat persepsi subjektif dari
diri individu tersebut.
Proses
penyesuaian diri yang dilakukan oleh seseorang. Hariyadi menyiratkan bahwa
manusia sebagai makhluk sosial dipengaruhi oleh konsep diri manusia itu sendiri
dalam kehidupan sosialnyadimasyarakat.
Dari definisi
di atas dapat disimpulkan konsep diri merupakan suatu pandangan manusia
terhadap kepribadiannya secara menyeluruh yang diperoleh dari hasil belajar
sepanjang hidup. Konsep diri yang terbentuk akan mempengaruhi perilaku individu
dalam interaksi sosialnya.
Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Harry Stack
Sullivan (Jalaludin Rakhmat, 2005: 101) mengemukakan bahwa individu
diterima, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita. Sebaliknya,
bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak
kita, kita cenderung tidak akan menyenangi diri kita. Ini menandakan
bahwa individu memerlukan apresiasi dalam kehidupan sosialnya, jika
tidak maka pengaruh negatif akan memperngaruhi perilaku individu.
Beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah:
a. Orang lain
Manusia sebagai
makhluk sosial tentunya membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya.
Interaksi yang terjadi akan menghasilkan masukan baru bagi individu.
Fitts (HendriantiAgustiani, 2006: 103) mengungkapkan pengalaman interpersonal
akan menghasilkan perasaan positif dan berhaga. Berdasarkan pendapat Fitts
di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa interaksi antar individu akan
menghasilkan sebuah pengalaman yang mempengaruhi konsep diri individu.
Namun begitu, Hutagalung (2007: 27) menspesifikasikan lagi bahwa tidak
semua orang berpengaruh pada diri seseorang. Lebih lanjut Hutagalung menegaskan
yang paling berpengaruh adalah orang-orang yang disebut significant
others, yakni orang yang sangat penting bagi diri seseorang.
b. Kelompok
Sebagai makhluk
sosial, manusia pasti memiliki kelompok dalam kehidupannya. Setiap
kelompok yang diikuti oleh individu tentunya memiliki aturan
masing-masing. Diantara kelompok yang diikuti oleh individu terdapat
sebuah “kelompok acuan”. IngHutagalung (2007: 27) mengemukakan kelompok
acuan, yaitu kelompok yang menjadi acuan bagi individu untuk berperilaku
sesuai dengan norma dan nilai yang dianut kelompok tertentu.
Dari pendapat
Inge Hutagalung di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri
dipengaruhi oleh masukan dari luar diri individu, yakni orang lain dan
kelompok. Masukan dari orang lain dan budaya di dalam kelompok dianggap
sebagai faktor kuat yang mempengaruhi konsep diri individu.
c. Diri Sendiri
Selain
dipengaruhi oleh orang lain dan kelompok, konsep diri juga dipengaruhi oleh
diri individu sendiri. Kemampuan individu untuk merealisasikan apa yang ada di
dalam dirinya juga mempengaruhi konsep diri individu.
Fitts
(Hendrianti Agustiani, 2006:139) mengemukakan bahwa aktualisasi diri merupakan
implementasi dan realisasi potensi pribadi yang sebenarnya Konsep diri adalah
pandangan individu tentang diri individu (Jalaludin Rakhmat, 2009: 99). Dalam
benak kita sebagai individu terdapat pengetahuan sebagai manusia. Baik
pengetahuan mengenai fisik, psikologis, maupun sosial sebagai individu.
Misalkan pengetahuan mengenai fisik yang menggambarkan individu, yakni usia,
tinggi badan, warna kulit, dan bentuk rambut. Dari pengetahuan tentang dirinya
sendiri, individu dapat memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri dan
membandingkan dirinya dengan individu baik fisik, psikologis, dan sosial.
Harapan
Rogers (Calhoun
dan Acocella, 1995: 71) mengemukakan saat individu mempunyai satu set pandangan
tentang siapa dirinya, individu juga mempunyai satu set pandangan lain, yaitu
tentang kemungkinan individu menjadi apa dimasa mendatang. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia sebagai individu selain memiliki pengetahuan tentang dirinya juga
memiliki harapan dan rencana ke depan terhadap dirinya kelak.
Harapan yang
terbentuk pada individu kemudian menjadi konsep diri. Dengan adanya harapan
pada individu, maka akan ada dorongan bagi individu untuk melakukan hal positif
yang terbaik untuk mencapai tujuan hidupnya. Konsep diri adalah buah dari bagaimana
individu melihat dirinya, merasai dirinya, dan menginginkan dirinya (Agus
Hardjana, 2003: 96).
Penilaian
Setelah
memiliki pengetahuan terhadap dirinya sendiri dan harapan terhadap dirinya sendiri,
selanjutnya adalah penilaian individu terhadap dirinya. Individu akan menilai
sejauh mana kesesuaian antara pengetahuan terhadap dirinya sendiri, harapan
terhadap dirinya sendiri, dan realita kenyataan yang terjadi. Hasil dari
pengukuran tersebut adalah harga diri. Orang yang hidup sesuai dengan standar dan
harapan-harapan untuk dirinya adalah orang yang mempunyai harga diri yang
tinggi (Calhoun dan Acocella, 1995: 71).
Berdasarkan
pendapat yang dikemukakan oleh Calhoun dan Acocella di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa konsep diri sangat dipengaruhi oleh diri individu sendiri. Peran individu
dalam melakukan penilaian terhadap kesesuaian harapan dan realita akan menghasilkan
harga diri individu. Harga diri tinggi adalah ketika individu merasa bahagia
dengan keadaannya. Sebaliknya jika harapan diri rendah ketika kenyataan dan harapan
terdapat kesenjangan yang jauh. Untuk itu individu harus bisa menata harapannya
agar tidak terjadi kesenjangan antara harapan dan realita yang bisa berakibat harga
diri yang rendah.
Berbeda dengan
Calhoun dan Acocella yang membagi konsep diri dalam tiga dimensi, Fitts (Hendriati
Agustiani, 2006: 139) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok konsep diri,
yaitu;
a. Dimensi Internal
Dimensi internal adalah penilaian yang dilakukan individu,yakni
penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri dunia di dalam
dirinya. Dimensi internal konsep diri menurut Fitts (Hendriati Agustiani, 2006:
140) dibagi menjadi tiga, yaitu;
1) Diri identitas (identity self)
Bagian diri merupakan aspek yang paling mendasar pada konsepdiri
dan mengacu pada pertanyaan “Siapakah saya?”. Individu dituntut untuk
mengetahui sejauh mana dirinya mengetahui tentang dirinya.Semakin tumbuh dan
berkembangnya individu sebagai manusia, maka jawaban terhadap pertanyaan “Siapakah
saya?” akan semakin banyak dan semakin kompleks jawaban yang diberikan terhadap
pertanyaan tersebut.
2) Diri pelaku (behavioral self)
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya,
yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri”. Diri
yang kuat akan menunjukkan keserasian antara diri identitas dan perilaku. Diri
yang baik akan mampu mengenali dan Manusia sebagai individu akan memberikan
penilaian terhadap keserasian diri identitas dan diri perilakunya melalui diri
penilai. Diri penilai akan memberikan penilai dan evaluasi sesuai standar
kepuasan yang akhirnya akan menghasilkan harga diri (self esteem) bagi individu.
Individu dengan tingkat kepuasan yang rendah akan menghasilkan harga diri yang
rendah pula. Hal tersebut terjadi karena adanya kesenjangan antara diri
identitas dan diri pelaku pada individu.
Misalkan Ani yang menganggap dirinya sebagai murid yang pintar, namun
kenyataannya Ani menunjukkan perilaku malas belajar dan jarang masuk sekolah.
Pada akhirnya Ani akan kecewa pada saat pembagian rapor karena nilainya jelek.
Sebaliknya individu dengan harga diri yang tinggi akan memiliki diri identitas
yang lebih realistis, dengan begitu diri perilaku dapat menutupi kesenjangan
yang bisa terjadi.
Dari ketiga bentuk dimensi internal di atas, dapat diketahui bahwa
setiap bentuk dimensi memiliki peran masing-masing dalam pembentukan konsep
diri manusia. Namun begitu, dapat dipastikan bahwa setiap dimensi saling
berkaitan satu sama lain dan tidak mungkin antar dimensi saling mengabaikan
satu sama lain.
b. Dimensi
Eksternal
Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan
dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta halhal lain di luar
dirinya (Hendriati Agustiani, 2006: 141). Namun, dimensi yang diungkapkan oleh
Fitts adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bag semua orang dan dibagi
menjadi lima bentuk,yaitu;
1) Diri Fisik (physical self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya
secara fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan
dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik), dan keadaan
tubuhnya (tinggi, pendek gemuk kurus).
2) Diri Etik-Moral (moral-ethical self)
Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat
dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi
seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan
keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik
dan buruk.
3) Diri Pribadi (personal self)
Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaang
pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan
orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap
pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat
4) Diri Keluarga (family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam
kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang
merasa adekuat sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi
yang dijalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga.
5) Diri Sosial (social self)
Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya
dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya. Seperti halnya dimensi
konsep diri menurut Calhoun dan Acocella, dimensi konsep diri menurut Fitts
juga memiliki keterkaitan satu sama lain. Bagian-bagian dimensi pokok, yakni
dimensi internal dan eksternal saling berinteraksi satu sama lain sehingga akan
tercipta lima belas kombinasi yang berasal dari tiga dimensi internal dan lima dimensi
eksternal. Kombinasi tersebut adalah identitas fisik, identitas moral-etik,
identitas pribadi, identitas keluarga, identitas sosial, tingkah laku fisik,
tingkah laku moral-etik, tingkah laku pribadi, tingkah laku keluarga, tingkah
laku sosial, penerimaan fisik, penerimaan moral-etik, penerimaan pribadi,
penerimaan keluarga, dan penerimaan sosial.
Dari dua dimensi konsep diri yang diungkapkan ahli di atas, dimensi
diri menurut Fitts dapat dianggap dimensi yang lebih kompleks jika dibandingkan
dengan dimensi diri menurt Calhoun dan Acocella . Hal tersebut dikarenakan
dimensi konsep diri menurut Calhoun dan Acocella yang lebih fokus pada internal
diri individu dan cenderung mengabaikan pengaruh dari luar diri individu,
seperti keluarga dan sosial. Kata kunci untuk memahami konsep diri manusia tidak
dapat mengabaikan relasi antarmanusia (Gabriel Marcel dalam Hutagalung, 2007:
23).
Proses Pembentukan Konsep Diri
Konsep diri bukanlah suatu pernyataan yang objektif dan faktual
tentang diri sendiri tetapi lebih merupakan pandangan subjektif (Calhoun dan
Acocella, 1995: 114). Hal tersebut terbentuk akibat adanya pengaruh internal
dan eksternal individu. Seperti yang dikemukakan oleh Fitts (Hendriati
Agustian, 2006: 139), individu mempunyai cara pandang terhadap dirinya, yakni
dimensi internal dan eksternal.
Dimensi internal dan eksternal individu memiliki keterkaitan satu
sama lain dalam pembentukan konsep diri individu. Dimensi eksternal
mempengaruhi dimensi internal, begitu juga sebaliknya dimensi internal juga
akan mempengaruhi dimensi eksternal. Analogi keterkaitan dimensi eksternal
terhadap dimensi internal konsep diri yang menyatakan bahwa wanita tersebut
tidak cantik dan tidak menarik. Selain itu banyak pria yang menjauhinya ketika
di kantor.
Perilaku yang ditunjukkan oleh rekan individu tersebut membentuk konsep
diri individu yang sebelumnya menganggap dirinya cantik, bisa berubah dan
menganggap dirinya adalah orang yang buruk rupa dan tidak menarik. Dari
penjabaran di atas dapat dilihat konsep diri individu dipengaruhi dan dapat
berubah. Dalam hal ini dimensi internal diri identitas dipengaruhi oleh dimensi
eksternal sosial.
Analogi keterkaitan dimensi internal terhadap dimensi eksternal terhadap
pembentukan konsep diri individu dapat dijabarkan sebagai berikut, seorang
individu wanita yang mendapatkan masukan dari orang lain jika ia tidak cantik dan
tidak menarik. Namun wanita tersebut memiliki interpretasi yang baik terhadap
masukan orang lain dan standar dirinya terhadap kecantikan masih terjangkau
oleh dirinya sendiri. Untuk itu masukan yang ia dapat dari orang lain tidak
begitu mempengaruhi konsep dirinya karena tidak terjadi kesenjangan antara penilaian
yang orang lain berikan kepadanya dengan standar diri mengenai kecantikan yang
sudah ia tetapkan. Calhoun dan Acocella (1995: 95) berpendapat bahwa konsep
diri tidak hanya dipengaruhi oleh peristiwa eksternal, namun juga dipengaruhi
oleh interpretasi individu terhadap peristiwa eksternal tersebut.
Jenis-Jenis Konsep Diri
Setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda, termasuk konsep
dirinya. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh internal maupun eksternal
individu. Menurut Burns (Hutagalung, 2007: 23) terdapat dua jenis konsep diri,
yakni konsep diri positif dan negatif.
a. Konsep Diri Negatif
Menurut Calhoun dan Acocella (1995: 72) terdapat dua jenis konsep
diri negatif, yakni:
1) Pandangan seseorang tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur:
dia tidak memiliki kestabilan dan kebutuhan diri.
2) Konsep diri pada individu terlalu kaku, dalam artian terlalu
teratur dan stabil. Individu terlalu diliputi kecemasan dan ketakutan terhadap dirinya
sendiri William D. Brooks dan Philip Emmert (Jalaludin Rakhmat, 2007: 105)
mengemukakan tanda individu dengan konsep diri negatif, yaitu;
1) Peka pada kritik. Individu tidak tahan dengan kritik dan menganggap
kritik yang diberikan oleh orang lain bertujuan untuk menjatuhkan harga
dirinya. Pendapat ini didukung oleh Burns(Hutagalung, 2007:23) yang mengemukakan
bahwa bagi individu dengan konsep diri negatif memandang kritik sebagai
pengabsahan lebih lanjut kepada inferiritas mereka.
2) Responsif pada pujian. Individu terkadang berpura-pura menutupi antusiasme
dirinya terhadap pujian, walaupun sebenarnya ia tidak bisa menutupi
antusiasmenya tersebut. Segala embel-embel pujian yang menunjang harga dirinya.
Menurut Burns (Hutagalung, 2007: 23) bagi individu dengan konsep diri negatif,
setiap pujian lebih baik daripada tidak sama sekali, dan untuk meningkatkan
rasa aman maka individu akan berusaha keras untuk mendapatkan pujian tersebut.
3) Merasa tidak disenangi orang lain. Individu merasa tidak diperhatikan
dan menganggap orang lain sebagai musuh, sehingga tidak bisa melahirkan
kehangatan dan persahabatan. Perasaan tidak disenangi yang muncul pada individu
tersebut terkadang hanya perasaan individu saja karena takut inferiotasnya
terungkap pada orang lain (Burns dalam Hutagalung, 2007: 23)
4) Pesimis terhadap kompetisi. Individu tidak mau bersaing dengan orang
lain dan menganggap dirinya tidak berdaya dalam persaingan. Dari tanda yang
individu dengan konsep negatif di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa individu
dengan konsep diri negatif bukanlah individu yang ideal dalam kehidupan sosial.
Individu dengan konsep diri negatif cenderung egois, tidak bisa menerima
dirinya, dan akhirnya menutup diri terhadap lingkungan sosial. Akibatnya
individu yang sudah terisolir akibat menarik diri menjadi semakin terisolir
dari kehidupan sosial karena kesalahpahaman yang terjadi antara individu dengan
lingkungan sosial. Bagaimana pun konsep diri yang negatif akan sulit diterima
oleh masyarakat.
b. Konsep Diri Positif
Wicklund dan Frey (Calhoun dan Acocella, 1995: 37) menyebutkan
bahwa orang dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali. Kalimat
tersebut sedikit menjawab pernyataan yang menyatakan bahwa orang yang konsep
dirinya positif terkadang terlalu membanggakan dirinya. Namun konsep diri merupakan
penerimaan diri, di mana kualitas lebih mengarahkan ke kedermawanan dari pada
keangkuhan dan keegoisan (Calhoun dan Acocella, 1995: 73).
Bertolak belakang dengan konsep diri negatif, individu dengan konsep
diri positif lebih bisa menerima kekurangan dan kelebihan yang ada pada
dirinya. Individu dengan konsep diri positif akan dapat terbuka menerima
evaluasi atau pun kritik dari orang lain. Berbeda dengan individu negatif yang
tertutup dan menolak masukan dari orang lain. Selain itu individu dengan konsep
diri positif juga lebih realistis antara harapan dan kemampuannya. Hal ini
dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kesenjangan yang bisa berujung kekecewaan
terhadap diri sendiri. Orang dengan konsep diri positif dapat memahami dan
menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri
(Calhoun dan Acocella, 1995: 73).
Secara terperinci D.E Hamachek (Jalaludin Rakhmat, 2007: 106)
mengemukakan sebelas ciri-ciri individu dengan konsep diri positif, yaitu;
1) Ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu
serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok-kelompok
yang kuat. Tetapi, dia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip
itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan ia salah.
2) Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah
yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya bahwa orang lain tidak
menyetujui tindakannya.
3) Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa
yang akan terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang
sedang terjadi waktu sekarang.
4) Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan,
bahkan ketika ia menghadapi kegagalan dan kemunduran.
5) Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau
rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu.
6) Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang penting dan bernilai bagi
orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabat-sahabatnya.
7) Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima
penghargaan tanpa rasa bersalah.
8) Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
9) Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan
berbagai dorongan dan keingingan dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih
sampai bahagia, dari kekecewaan yangmendalam sampai kepuasan yang mendalam
pula.
10) Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan
yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan,
atau sekedar mengisi waktu.
11) Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yangtelah
diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang
dengan mengorbankan orang lain.
Secara garis besar, Inge Hutagalung (2007: 25) mengemukakan pendapatnya
mengenai tanda individu yang memiliki konsep positif, yaitu;
1) Orang yang “terbuka”.
2) Orang yang tidak mengalami hambatan untuk berbicara dengan orang
lain, bahkan dalam situasi yang masih asing sekalipun.
3) Orang yang cepat tanggap terhadap situasi sekelilingnya.
Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas,
dapat dibandingkan dan disimpulkan bahwa individu dengan konsep diri positif
akan lebih mudah diterima di dalam lingkungan sosial masyarakat. Alasannya
adalah individu dengan konsep diri yang lebih terbuka, rendah hati, dan peduli
dengan sesama.
Inge Hutagalung (2007: 25) mengemukakan individu dengan konsep diri
positif cenderung menyenangi dan menghargai diri mereka sendiri, sebagaimana
sikap mereka terhadap orang lain. Individu dengan konsep diri positif sadar bahwa
manusia satu dengan lainnya tidak bisa lepas satu sama lain. Individu dengan
konsep diri positif akan terus belajar untk memahami dan meneri kondisi
dirinya. Hal tersebut dilakukan oleh individu dengan konsep diri positif agar individu
tidak kehilangan arah dan tujuan hidup. Konsep diri seseorang merupakan
kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan (William
H. Fitts dalam Hendriati Agustiani, 2006: 138).[3]
5.
Individu dengan Hambatan Majemuk dalam
Membangun Konsep
Individu dengan hambatan majemuk mempunyai kecepatan yang
berbeda-beda dalam memngembangkan sebuah konsep. hal ini disebabkan kondisi
hambatan yang dialaminya.
Ada cerita lama yang terkenal yang dapat menerangkan kita tentang
tantangan menolong anak dengan hambatan majemuk dalam membangun konsep yang
bermakna. Ceritanya seperti ini: Empat laki-laki tunanetra menyentuh seekor
gajah. Seorang yang menyentuh belalai gajah berkata, Seekor gajah seperti
sebuah pohon anggur besar yang bergoyang-goyang." Seorang yang menyentuh
kuping gajah berkata, "Bukan, seekor gajah seperti kipas besar yang
kasar." Seorang yang menyentuh badan gajah berkata, "Bukan! Seekor
gajah seperti dinding bata yang tebal!" Dan seorang yang menyentuh ekor
gajah berkata, "Bagaimana kalian semuanya bisa salah besar?! Seekor gajah
itu seperti tali yang menggantung dan berayun!" Cerita ini mengajarkan
kita bahwa konsep berkaitan dengan pengalamanpengalaman individual. Konsep
adalah pemikiran-pemikiran yang memberi makna terhadap dunia kita. Kita membangun
konsep berdasarkan pengalaman tertentu kita. Setiap laki-laki tunanetra di atas
mengalami pengalaman yang sama sekali berbeda terhadap seekor gajah, dan oleh
karenanya, setiap orang memiliki konsep yang berbeda-beda terhadap "seekor
gajah". Tak ada satu pun konsep yang salah bila kita mengetahui bahwa
konsep-konsep tersebut merupakan produk dari pengalaman individual. Setiap pemikiran
tentang "gajah" merupakan hal yang masuk akal dari perspektif
masingmasing di mana mereka menyentuh suatu bagian yang berbeda dari gajah
tersebut.
Pada anak-anak, konsep berkembang
secara spiral, dengan anak sebagai pusatnya. Konsep diri yang positif dimulai
dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan responsif. Dalam pelukan ibu,
seorang bayi belajar bahwa ia dapat mempengaruhi orang lain. Ia belajar bahwa
ia dapat menangis dan diberi makan atau dihibur, bahwa ia dapat bergiliran dengan
orang lain. Secara bertahap, seiring pertumbuhan anak, pengalamannya semakin
meluas. Ia belajar tentang tubuhnya sendiri dan tubuh ibunya. Ia belajar
tentang keberadaan benda sama halnya seperti keberadaan manusia. Ia belajar
tentang apa yang dapat diraih oleh tangannya, apa yang dapat dilihat oleh matanya,
dan apa yang dapat didengarnya. Seorang anak belajar bahwa ia memiliki sebuah
keluarga, rumah, lingkungan sekitar, dan kota. Ia belajar bahwa orang berkomunikasi
dengan bahasa dan ia menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarakat pengguna
bahasa.
Konsep-konsep dibangun dari konsep lain. Semakin banyak pemikiran dan
memori yang dimiliki seorang anak tentang bagaimana cara kerja dunia dan suatu
hubungan, semakin mudah untuk mengembangkan berbagai pemikiran yang lebih jauh.
Sekali anak menyadari, misalnya, ketika ia bertepuk tangan, ayahnya juga ingin
bertepuk tangan, ia mulai memahami konsep sebab akibat.
Sebuah pemahaman tentang satu jenis konsep sebab akibat akan
semakin mempermudah anak untuk belajar memahami konsep sebab akibat lainnya. Setelah
menguasai konsep pertama, seorang anak cenderung akan memahami konsep lainnya.
Hal lain misalnya, ia dapat belajar, apabila ia meremas mainan tertentu maka
mainan tersebut akan mengeluarkan bunyi. Bergiliran merupakan konsep tipe umum
lainnya yang anak-anak pahami melalui pengalaman berulang yang khusus. Ketika seorang
anak dapat bergiliran dengan anak lainnya dalam sebuah perrnainan, seperti menggelindingkan
bola secara bolak-balik, ia mungkin akan menyadari kalau ia dapat bergilirandengan
menggunakan perkataan.
Konsep-konsep dibangun dari konsep lain,sama seperti
keterampilan-keterampilan dibangun dari keterampilan lain. Pengembangan konsep
merupakan petualangan bersama, dimana Anda dan anak dengan hambatan majemuk
dapat saling mempelajari dan menjelajahi dunia ini bersama-sama. Konsep adalah
sesuatu yang dinamis dan selalu berkembang. Hal ini berlaku untuk semua orang,
tanpa kecuali. Anda mungkin tidak pernah berpikir mengenai ekor gajah
yangteksturnya seperti tali tambang, mengenaibagaimana turunnya hujan mirip
dengan air mata, atau mengenai bagaimana hembusan angin terasa di wajah.Anak
dengan hambatan majemuk dapat menunjukkan pada Anda konsep baru seperti ini dan
cara baru untuk mengenai dunia. Anda dapat membantunya mengerti bahwa ia dapat menjadi
anggota dalam dunia sosial yang menyenangkan. Anda dapat menunjukkan bahwa
orang-orang lain menggunakan bahasa tubuh mereka atau bahasa isyarat untuk
berkomunikasi. Konsep berkembang melalui pengalaman bersama. Bersamasama,kita
belajar lebih banyak mengenai satu sama lain dan mengenai dunia disekitar kita.[4]
6. Bekerja Bersama Individu dengan Hamabatan
Majemuk Dalam Mambangun Konsep
• Ada
beberapa langkah untuk berkerja sama:
• Pra tindakan
di identifikasi dan assasemen kemudian lakukakan analisis sebagai dasar/acuan
mengembangkan pembelajaran, masalah tersebut setelah di ketahui kemuadian di
susun rencana pembelajaran yang akan dilaksanakan pada tindakan.
Pengumpulan
data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan teknik pengamatan berperan serta,
wawancara mendalam dan analisis dokumen.
a.
Pengamatan berperan serta Pengamatan berperan serta pada dasarnya adalah
mengadakan pengamatan dan mendengarkan secermat mungkin sampai pada yang
sekecil-kecilnya (Moleong, 2005:23). Pengamatan berperan serta sebagai
penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama
antara peneliti dengan subjek penelitian dalam lingkungan subjek dan selama itu
data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis. Pengamatan
berperan serta dilakukan di kelas-kelas maupun di sekitar sekolah serta di
rumah.
b.
Wawancara mendalam Wawancara mendalam yaitu percakapan mendalam yang dilakukan
peneliti terhadap para aktor yang sekaligus juga sebagai informan dalam
penelitian ini. Maksud mengadakan wawancara adalah untuk mengkonstruksikan
kejadian dan atau memverifikasikan kegiatan pembelajaran dan pendampingan anak
MDVI selama ini.
c.
Analisis dokumen Selain pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam,
peneliti juga mengadakan analisis terhadap dokumen-dokumen yang relevan dengan
kegiatan pembelajaran dan pendampingan anak-anak MDVI di sekolah maupun di
rumah. Untuk kegiatan analisis data dilakukan dalam dua tahap, yaitu selama dan
setelah pengumpulan data. Terhadap data yang diperoleh dilakukan analisis
deskriptif kualitatif model alir (Miles dan Huberman, 2007:54).5
• Tindakan,
pembelajaran
1.
Layanan pendidikan khusus
Siapa yang membutuhkan pendidikan
khusus,di Indonesia kita lihat pada Undang Undang Sistem Pendidikanan Nasional
(UU Sisdiknas) No 20 Tahun 2003. UU sisdikas No. 20 tahun 2003 Pasal 5, ayat 2
menyebutkan bahwa “ Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual dan/atau social berhak memperoleh pendidikan khusus” Pada
ayat 4 pasal yang sama (pasal 5) UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 menyebutkan
bahwa“warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh Pendidikan Khusus. Secara legalitas Anak yang membutuhkan pendidikan
khusus atau anak berkebutuhan pendidikan khusus (ABPK) terlihat jelas. Kita
harus mengidentifikasi bagaimana pendidikan khususnya. Pendidikan khusus tidak
harus ada di Sekolah khusus/Sekolah Luar Biasa (SLB). Pendidikan khusus bisa
berlangsung di sekoh regular, sekolah Khusus/Sekolah Luar Biasa, bisa dirumah,
bisa di rumah sakit atau tempat lainnya. Perbedaan pendidikan biasa dengan
pendidikan khusus bisa dilihat dari Kelas atau tempat berlangsungnya proses
pembelajaran, bisa dilihat dari program pembelajarannya dan bisa dilihat dari
layanan pembelajarannya. Bila (kelas, program, layanan) salah satu atau dua dan
/atau ketiganya dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak
dengan kelainan atau ABPK maka itu adalah pendidikan khusus.
Dalam memenuhi
kebutuhan pendidikan khusus bagi ABPK maka ada tiga kelompok ABPK :
ABPK dalam Kelas
khusus Tidak semua ABPK membutuhkan kelas khusus, tidak semua ABPK membutuhkan
program khusus. Bila ABPK membutuhkan Kelas khusus pasti didalamnya ia butuh
program khusus dan pasti didalamnya pula ia membutuhkan layanana khusus dan
juga memerlukan guru khusus untuk melaksanakan rancangan pembelajarannya.
Tetapi tidak harus kelas khusus ini berada di sekolah khusus/SLB. Kelas khusus
ini bisa berada dilingkungan sekolah biasa atau sekolah reguler, baik tingkat
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah. Pertama dan Atas dan guru khusus sebagai
pelaksana pembelajarannya.
ABPK dalam Program
khusus Ada pula ABPK Yang hanya membutuhkan program khusus yang dirancang untuk
memenuhi kebutuhan pendidikannya. Bila ia hanya membutuhkan program khusus, ia
(ABPK) pasti butuh layanan khusus dan tempat pembelajarannya (kelasnya) di
kelas biasa bersama dengan anak lain yang tidak memiliki problem atau kelainan.
Dalam situasi yang demikian kendali pembelajarannya tidak harus dilaksanakan
oleh guru khusus. Kendali pembelajaran ada di tangan guru kelas regular. Guru
khusus hanya berfungsi sebagai guru pembimbing dan guru konsultan bagi guru
reguler. Rancangan rencana program khususnya dan rancangan rencana layanan
khususnya tetap dating dari guru khusus atau paduan dari rancangan guru khusus
dan guru biasa/regular.
ABPK dalam Layanan
Khusus Ada ABPK yang kelasnya bersama teman sekelasnya di kelas regular,
programnya juga sama dengan teman sekelasnya di kelas regular. Tetapi ia hanya
membuthkan layanan khusus. Layanan khusus yang dibutuhkan hanya mengarah kepada
dimana posisi penempatan anak di kelas, bagaimana media dan alat yang
dibutuhkan guru dan anak dengan kelainan majemuk dalam pembelajaran. Alat dan
media yang sesuai dengan yang dibutuhkan membuat anak aksesibel dalam mengikuti
setiap pembelajaran. Ini tentu disesuaikan dengan karakteristik serta problem
amasalah yang dimiliki setiap individu yang berkelainan (ABPK).
Untuk keperluan Pendidikan, ABPK dapat dibagi
kedalam 2 (dua) kelompok yaitu:
1.
Masalah (problem) dalam Sensorimotor Anak yang
mengalami kelainan dan memiliki efek terhadap kemampuan melihat, mendengar dan
kemampuan bergeraknya. Problem ini kita sebut Sensorimotor Problem. Kelainan
sensorimotor biasanya secara umum lebih mudah diidentifikasi, ini tidak berarti
selalu lebih mudah dalam menemukan kebutuhannya dalam pendidikan. Kelainan
sensorimotor tidak harus berakibat masalah pada kemampuan inteleknya. Sebagian
besar anak yang mengalami masalah dalam sensorimotor dapat belajar dan
bersekolah dengan baik seperti anak yang tidak mengalami kelainan.
Ada tiga (3) jenis kelainan yang termasuk
problem dalam sensorimotor yaitu ;
a. Hearing disorders (Kelainan
pendengaran atau tunarungu)
b. Visual Impairment.(kelainan Penglihatan
atau tunanetra)
c. Physical Disability (kelainan Fisik atau
tunadaksa) Setiap jenis kelainan tersebut akan melibatkan berbagai keahlian di
samping guru khusus yang memiliki keterampilan dan keahlian khusus sesuai
kebutuhan setiap jenis kelainan. Kerjasama sebagai tim dari setiap ahli sangat
penting untuk keberhasilan pembelajaran ALB.
2. Masalah (problem) dalam belajar
dan tingkah laku. Kelompok Anak Luar Biasa yang mengalami problem dalam belajar
adalah:
a. Mental retardation (
keterbelakangan mental atau tunagrahita)
b. Learning disability
(ketidakmampuan belajar atau Kesulitan belajar khusus)
c. Behavior disorders (anak nakal
atau tunalaras) d. Giftet dan talented (anak berbakat)
e. Autistik (anak autis)
Dari pengelompokan
masalah diatas, anak dengan kelainan majemuk bisa masuk kedalam anak yang
memiliki problim dalam sensori motor dan bisa juga masuk kedalam anak yang
bermasalah dalam belajar dan tingkah laku. Hal ini tergantung dari jenis
kelainan yang disandangnya.6
[1] http://aeritam.blogspot.co.id/2011/06/konsep-dan-definisi.html
[2] http://oshomdijah.blogspot.co.id/2012/06/media-pembelajaran-ipa-knowing-is-not.html
[3] Akbar
Waskita Ifdhil Haq, bab 2 h. 13
[4] Juang
sunanto, jurnal UPI volome 12 nomor 1 tahun 2013
5 Jurnal FIP September 2015
6 Anak
dengan kelainan majemuk, Irham Hosn PLB FIP UPI
Komentar
Posting Komentar